REPUBLIKA.CO.ID, ZAWIYA -- Hani Mahrouf (33 tahun) terbangun pukul dua dini hari di bulan Februari. Pintu rumahnya digedor-gedor dengan kerasnya. Seorang berseragam memanggul senjata. Di rumahnya yang berada di kompleks perumahan Sirte, Libya, sang tamu menanyakan agama apa yang dianut Mahrouf.
"Mereka adalah militan ISIS. Mereka mencari kristen Mesir untuk dibunuh," ujarnya dilansir Chronicle Bulletin, Ahad (22/3).
Mahrouf, yang beragama Islam menegaskan dirinya apa adanya. Mengetahui dia muslim, anggota ISIS itu membiarkannya. Sang algojo ISIS justru menanyakan di mana rumah-rumah orang Kristen.
"Mereka bertanya sembari mengancam," kata dia.
Mahrouf dan tiga sahabatnya--dua Muslim dan seorang Kristen, berasal dari desa miskin di provinsi Assuit Mesir. Ketiganya selamat dari penyerangan oleh ISIS. Namun malang, tidak dengan 13 rekan lainnya sesama buruh yang harus dipenggal ISIS pada Februari silam.
Cerita Mahrouf mengawali kisah pilu Osama Mansour, salah seorang Kristen di Mesir. Dia terpaksa menyelinap keluar dan melompat pagar saat ISIS datang mengepung perumahannya. Mansour melarikan diri dari Mesir, tetapi yang terjadi, ia justru datang ke Libya, tempat kekuatan penjagaan ISIS.
"Aku tinggal (di Sirte) selama 30 hari, tapi aku tidak tinggal di ruangan yang sama dengan Mahrouf," ujar pekerja 26 tahun tersebut.
Seorang pria yang bernama "Sheikh Ali," seorang Muslim dari Assuit, membantu Mansour menyembunyikan diri. Pada akhirnya, Mansour tumbuh berjenggot seperti layaknya Muslim di Sirte.
"ISIS memiliki dua pos pemeriksaan. Mereka memeriksa tato--salib kebiruan-hitam yang banyak dibuat Kristen Koptik di bagian dalam pergelangan tangan," ujarnya.
Mansour menutupi tato salib dengan gips di tangan. Sheikh Ali, sebelumnya telah memberinya Alquran dan sajadah untuk perjalanan tersebut. Mansour mengaku terpaksa mengaku sebagai muslim.
"Aku harus melakukan ini. Aku tidak bisa melihat ibu saya memakai baju hitam untuk berkabung," kata Mansour.