REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (Fahutan IPB), Bambang Hero Saharjo, menilai, mayoritas kejahatan kehutanan terjadi karena adanya korupsi dari pihak terkait. Sementara pengaturan mengenai hukum pidana dan hukum acara pidana dalam Undang-undang (UU) Kehutanan memiliki beberapa keterbatasan.
Antara lain alat bukti yang diatur di UU Kehutanan masih sangat konvensional, dan belum mengakomodasi rekaman. Demikian pula sanksi dari hukum pidana kehutanan hanya sebatas penjara dan denda, tidak termasuk pemulihan. Sementara, pengaturan mengenai tindak pidana korporasi masih terbatas, hanya menyasar pengurus badan hukum dan badan usaha serta sanksi terbatas penjara tidak ada pencabutan badan hukum dan lain sebagainya.
Maka cari itu, katanya, perlu upaya penegakan hukum yang bersifat lintas sektoral. Artinya, menggunakan berbagai perundang-undangan dan bersifat kumulatif atau yang dikenal dengan istilah multidoor. "Jadi satu kasus kebakaran hutan bisa banyak Undang-undang yang digunakan, misalnya tipikor, tata ruang, pidana dan perdata,” tegas Bambang dalam siaran persnya yang diterima Republika Online baru-baru ini.