REPUBLIKA.CO.ID, Ternyata, dunia metafisika dan supranatural juga pernah ditelusuri oleh ulama terdahulu. Salah satu yang terkenal dan kontroversial hingga saat ini ilah Syams al-Maarif al-Kubra, karya Ahmad bin Ali al-Buni (622 H). Dalam mukadimah kitabnya tersebut, tokoh yang hidup pada sekitar abad ke-12 M tersebut menegaskan bahwa, ada sejumlah orang yang memang mendapat anugerah bersentuhan dengan dunia lain tersebut. Menjelajahi dunia supranatural itu tetap harus dibatasi dengan koridor-koridor syar’i yang kuat.
Masih dalam pendahuluan kitabnya itu, al-Buni secara menekankan bahwa kitabnya tersebut hanya boleh dibaca oleh mereka para ahli syariat yang suci dan tidak memiliki kepentingan duniawi. Ia tidak rela jika kitabnya ini jatuh di tangan yang salah dan dipergunakan untuk tujuan keliru. “Mereka tidak akan mendapat manfaat dan barakah kitab ini,” aku al-Buni.
Kitab al-Buni yang dikenal juga dengan Syams al-Ma’arif wa Lathaif al-Awarif ini bisa dibilang merupakan warisan intelektual satu-satunya yang berbicara perihal supranatural dalam kerangka pemikiran Islam secara komprehensif. Al-Buni memang terkenal dengan karya-karyanya yang berbau supranatural. Selain Syams al-Ma’arif, ia menulis pula al-Luma’ an-Nuraniyah dan //an-Numth.
Kendati demikian karya al-Buni ini dituding lebih dominan mengajarkan aktivitas sihir dan bergumul dengan jin, ketimbang sekadar berinteraksi dalam batas kewajaran dengan dunia lain itu. Haj Khalifah dalam Kitab Kasyf azh-Zhunun, menduga kitab ini bertujuan untuk mendatangkan sihir dan memanggil jin.
Sedangkan Aga Bazraka at-Thaharani mengategorikan kitab ini dalam deretan karya-karya ulama Syiah, karena ia menuduh penulisnya memiliki kecenderungan dengan teologi dan tradisi Syiah. Untuk tuduhan yang terakhir ini, sebagian ulama menganggapnya terlalu mengada-ada dan berlebihan.
Jika melihat jejak rekam mata rantai guru dan riwayat belajar al-Buni, kita dapati bahwa tokoh kelahiran Bun, Aljazair pada 520 H ini menegaskan ideologi Sunni yang dianutnya. Ia belajar ilmu qiraat selama berada di Tunisia dan mendalami fikih Mazhab Maliki.
Al-Buni berguru ke deretan ulama Sunni terkemuka pada masa itu seperti Ibn Harazullah, Ibn Razaqullah, dan Ibnu Awanah. Di Spanyol ia menimba ilmu ke Aba al-Qasim as-Suhaili dan Ibn Basykawal serta as-Sabti. Selama berada di Alexandria, Mesir, ia menuntut ilmu ke sejumlah guru di antaranya al-Hafidz Abu Thahir as-Salafi, dah Abu Thahir Isma’il az-Zuhri.
Al-Buni sendiri menafikan secara langsung syak wasangka atas dirinya. Ia menjawab pertanyaan al-Hafizh as-Salafi tentang kegamangan Muslim Alexandria saat itu tentang kabar bahwa al-Buni menguasai ilmu gaib. Al-Buni mengutip ayat Alquran yang menyatakan bahwa Allah SWT lah yang menurunkan hujan sekaligus mengetahui kapan ia akan turun. “Jadi tudingan itu salah dan sangat mendistorsi. Aku hanya mengetahui ilmu syahid (nyata) bukan gaib,” kata al-Buni kepada as-Salafi
Kontroversial yang mendorong mengapa, tak sedikit ulama di berbagai belahan dunia untuk mereduksi beberapa bagian kitab yang dinilai tak layak. Ketika diterbitkan pertama kali oleh Penerbit as-Sya’biyah, Beirut pada 1985, bagian kitab sudah tak lagi utuh seperti semula.
Ada penghilangan di sana-sini, terutama bagian-bagian yang dinyatakan ‘berbahaya’ dan rentang memicu kesesatan. Pemerintah Arab Saudi pun tak segan melarang peredaran dan pengkajian kitab ini. Larangan tersebut merujuk pada fatwa Syekh Abdullah bin Baz bahwa karya-karya sejenis ini bisa mendatangkan kekufuran.
Upaya pencekalan dan pereduksian kitab ini nyatanya tak menyurutkan kajian dan penelitian mendalam terhadap kitab ini. Masih terdapat rentetan misteri yang belum terungkap dari karya tokoh yang juga dikenal sebagai seorang sufi ini.
Salah satu di antara misteri yang hendak dijawab oleh al-Buni dalam kitabnya itu ialah menguak keterkaitan alam semesta, tata surya, dan perbintangan itu dengan rahasia-rahasia tersembunyi di balik angka dan huruf. Rahasia angka dan huruf itu memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan manusia.
Al-Buni menegaskan apa yang terjadi di luar angkasa dari pergerakan planet, bintang, matahari, dan bulan, memiliki keterkaitan dengan apa yang terjadi di daratan bumi. Aktivitas sihir menurutnya, sangat erat kaitannya dengan bintang-bintang di langit dan sebagian jin atau setan menyembah benda-benda tersebut sebagai perantara menyembah Allah SWT.
Kitab al-Buni ini merupakan karya klasik berharga dalam menyibak tabir alam gaib, dengan tetap menjaga koridor-koridor syar’i. Para makhluk lembut itu, baik malaikat atau jin dengan ragam bangsanya seperti setan dan iblis pada dasarnya memiliki kewajiban yang sama sebagaimana manusia, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Niat untuk berinteraksi dengan para makhluk halus itu, harusnya bukan malah menjerumuskan kita dari kewajiban utama tersebut.