Selasa 24 Mar 2015 19:33 WIB

Perppu ISIS Jadi Pintu Masuk TNI Ikut Menindak Terorisme

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Ilham
DirekturSetara Institute, Hendardi
Foto: Republika / Tahta Aidilla
DirekturSetara Institute, Hendardi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SETARA Institute menilai pemerintah jangan terlalu panik dalam menghadapi setiap potensi ancaman yang bisa ditimbulkan dari Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Bahkan, wacana adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) pemberantasan ISIS menyimpan motivasi lain.

Salah satu motivasi itu adalah masuknya TNI secara maksimal dalam penegakan hukum memberantas terorisme. Sebenarnya, menurut SETARA Insitute, dengan produk hukum yang ada yaitu KUHP, UU Pemberantasan Terorisme, dan UU ITE, pemerintah sudah bisa menjerat pihak-pihak yang menyebarkan kebencian, menganjurkan kekerasan, dan makar. 

''Sepertinya usulan Perppu itu menyimpan motivasi lain, yaitu salah satunya diduga untuk melegitimasi keterlibatan optimum TNI dalam penegakan hukum memberantas terorisme,'' kata Ketua SETARA Institute, Hendardi lewat siaran pers yang diterima Republika, Selasa (24/3).

Ketimbang meminta dibentuknya Perppu, pihak-pihak terkait seperti Polri dan BNPT lebih fokus menggunakan produk hukum yang tersedia. ''Dengan tetap mengedepankan due proccess of law dengan mekanisme peradilan yang fair dan terbuka,'' lanjutnya.

Selain itu, Hendardi menilai, untuk memberantas terorisme harus dimulai dengan melakukan pemberantasan di hulunya, yaitu intoleransi. Intoleransi merupakan tangga pertama menuju terorisme. ''Selama hulu terorisme itu dibiarkan, maka potensi terorisme akan terus melekat,'' ujarnya.

Terkait penangkapan terduga terorisme dan adanya 16 WNI yang berencana bergabung dengan ISIS, SETARA Institute menghimbau, proses hukum yang nantinya bisa diberikan kepada mereka harus dilakukan secara fair dan terbuka melalui mekanisme yudisial yang ada di sistem hukum Indonesia. Dikhawatirkan jika proses itu tidak dilakukan secara terbuka, maka kecil kemungkinan mendapatkan narasi kebenaran dari para pelaku terduga teroris itu. Sehingga akan muncul keraguan publik akan validitas narasi ISIS di Indonesia. 

''Narasi terorisme termasuk ISIS yang tersaji di hadapan publik biasanya narasi tunggal dari aparat keamanan, dari Polri dan BNPT. Wajar jika akhirnya publik meragukan dan permisif terhadap berbagai aksi, kegiatan penangkapan, dan penyebaran pandangan keagamaan radikal,'' tutur Hendardi.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement