REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SETARA Institute menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait penanggulangan penyebaran ajaran dan gerakan kelompok radikal ISIS, bisa menimbulkan benturan kewenangan antara Polri dan TNI.
Direktur Riset SETARA Institute, Ismail Hasani menjelaskan berdasarkan prinsip due process of law, pemberantasan terorisme menjadi domain kepolisian. Prinsip itu, memang mengatur bahwa penegakkan hukum harus ditegakkan oleh lembaga hukum.
"Indikasi gerkan ISIS di Indonesia bukan perang yang merongrong pertahanan negara dan harus melibatkan TNI," katanya pada Republika, Rabu (25/3).
Ia melanjutkan, TNI hanya memiliki wewenang dalam hal pertahanan negara. Karena menurut Ismail, jika wacana Perppu itu benar dan terealisasi, pihak TNI tidak bisa ditempatkan di garis depan dalam pemberantasan terorisme.
"Kalau hal itu terjadi, itu penyimpangan due process of law," ujarnya.
Selain itu, penerbitan Perppu yang diwacanakan pemerintah, bisa menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang. Hal itu juga membiaskan tugas antara Polri dengan TNI.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdjiatno memberikan usulan kepada Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencegah ISIS. Perpu itu rencananya mengatur tindakan terhadap Warga Negara Indonesia yang bergabung ke ISIS.
Selain itu, Jendral TNI Moeldoko pernah mengungkapkan pihaknya sudah mengawasi setiap pergerakan ISIS yang masuk maupun keluar. Apabila ISIS melakukan tindakan mengancam, TNI siap untuk pasang badan.
"Kami sudah memonitor dan mengikuti gerakan ISIS dari luar maupun dari dalam, kalau mereka macam-macam ya kami sikat," ujarnya.