REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia mengaku kecewa dengan keputusan anggota panitia khusus (pansus) Hak Angket DPRD DKI Jakarta karena tidak menghadirkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk dimintai keterangannya.
"Ini bisa menimbulkan banyak persepsi negatif di masyarakat. Apakah DPRD benar serius atau hanya sekedar bermain dengan motif lain,’’ ujar Syamsuddin Alimsyah, Rabu (25/3)..
Syamsuddin menjelaskan penggunaan hak angket berbeda dengan hak interplasi. Derajatnyapun tidak sama. Ia mengatakan, jika hak interplasi masih bisa diwakilkan kepada pejabat lain untuk hadir di DPRD, namun hak angket harus dihadiri langsung oleh pejabat bersangkutan yang diduga memiliki peran atas penyimpangan yang diduga selama ini.
Proses pemberian keterangannyapun harus diambil di bawah sumpah. Ia menjelaskan, karena keputusannya bisa berimplikasi pada hukum.
Hak angket itu adalah hak penyelidikan oleh DPRD yang keputusannya bisa saja melahirkan rekomendasi untuk penegakan hukum. Itulah sebabnya menjadi penting semua pihak yang diduga mengetahui dan memiliki peran atas kasus yang diselidiki harus dimintai keterangan terkecuali yang bersangkutan menolak.
"Tapi dalam hak angket kali ini menjadi aneh kalau benar Ahok tidak dihadirkan. Apalagi Ahok sendiri lebih awal sudah membuat pernyataan menantang siap hadir. Ada apa sebenarnya?,’’ ujar Syamsuddin.
Menurut Syamsuddin kehadiran Ahok dalam Pansus DPRD menjadi sangat penting untuk mengklarifikasi berbagai kasus yang dituduhkan selama ini. Termasuk dugaan pengiriman "dokumen APBD palsu’’ alias bukan produk persetujuan DPRD yang dikirim kepada Kemendagri untuk dievaluasi.
"Bila benar yang diserahkan Pemprov kepada Kemendagri itu ternyata dokumen yang bukan hasil paripurna DPRD bisa fatal akibatnya. Ini produk institusi resmi yang diatur dalam konstitusi. DPRD itu bagian dariu unsur pemerintahan daerah yang diamanatkan untuk membahas RAPBD,’’ ujarnya lagi.