REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kordinator Indonesian Corruption Watch, Emerson Yuntho, mengatakan wacana Menteri yang hendak merivisi PP 99 Tahun 2012 khususnya dalam konteks pemberian remisi terhadap koruptor merupakan langkah mundur. Selain langkah mundur dalam tujuan pemberantasan korupsi, langkah tersebut sudah melanggar strategi nasional pemberantasan korupsi.
Emerson menjelaskan, pemberian remisi terhadap koruptor telah bertentangan dengan PP Nomor 55 Tahun 2012 tentang strategis nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang. Pada bagian strategi, penegakan hukum telah diamanatkan untuk melakukan pengetatan pemberian remisi kepada terpidana korupsi.
Selain itu, pemberian remisi bertentangan dengan Inpres nomor 1 tahun 2013 tentang aksi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi tahun 2013. Amanat yang sama dikatakan oleh instruksi presiden tersebut bahwa ketika pemerintah hendak memberikan remisi terhadap para terpidana korupsi tidak boleh secara obral.
''Jika pengetatan pemberian remisi diganti dengan pelonggaran maka bisa diartikan bertentangan dong, dan ini malah langkah mundur dari semangat agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi," ujar Emerson saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (26/3).
Meski begitu, Emerson memang tak menampik jika sesungguhnya remisi merupakan hak bagi setiap narapidana. Namun, pemberian remisi bukan berarti harus dilakukan dengan obral.
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan ketika pemerintah hendak memberikan remisi. Pertama, terpidana bersedia menjadi carburator justice atau yang kedua terpidana mampu bersikap kooperatif dalam proses pidana.
Selain itu, alumni Fakultas Hukum UGM ini juga menilai dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Yassona Laoly soal pemberian remisi malah melukai rasa keadilan masyarakat. Karena, korupsi sebagai kejahatan luar biasa tidak seharusnya mendapatkan keringanan hukuman.