REPUBLIKA.CO.ID,MAKASSAR -- Musyawarah Nasional (Munas) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) digelar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada 26-28 Maret 2015. Salah satu agenda munas itu adalah memilih Ketua Umum PERADI yang baru.
Namun, salah seorang advokat senior dari Forum Advokat Pejuang, Johnson Panjaitan menyebut bahwa ratusan advokat yang berasal dari Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PERADI di seluruh Indonesia harus gigit jari. Ini lantaran mereka tak bisa memberikan hak suaranya.
"Para advokat yang datang dari Sabang hingga Marauke ke hotel Clarion Makasar untuk memberikan hak suaranya untuk memilih calon ketua umumnya namun ditolak oleh Panitia. Hanya segelintiran orang tertentu yang telah diatur yang bisa masuk dan memberikan hak suaranya," kata Johnson melalui siaran persnya yang diterima oleh Republika, Kamis (26/3) malam.
Menurut Johnson, peraturan ini telah mencenderai demokrasi. Selain itu, peraturan ini telah membungkam hak asasi para advokat anggota Peradi.
"Bukankah memberikan suara untuk memilih merupakan hak asasi semua manusia termasuk advokat anggota Peradi sebagaimana yang dilindungi oleh UUD 1945," kata Johnson.
Johnson mengatakan, para advokat telah membayar mahal untuk pendidikan advokat. Juga, membayar mahal untuk mendapatkan kartu advokat PERADI. Namun, apa yang dilakukan panitia munas dengan menolak hak suara memilih ketua umum tidak sebanding.
Padahal, lanjut Johnson, berdasarkan hasil munas PERADI pada 2010, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) yang telah dibentuk, diamanatkan untuk menyusun dan menunjuk rim perumus rancangan perubahan anggaran dasar/peraturan rumah tangga PERADI. Di mana, DPN diberi waktu dua tahun setelah putusan munas Pontianak.
"Nah, salah satu poinnya adalah agar sistem pemilihan ketua umum diterapkan dengan sistem one man one vote (Pasal 19 anggaran dasar/peraturan rumah tangga PERADI)," kata Johnson.
"Kita jangan menghianati hasil Munas Pontianak dan jangan jadi advokat yang tidak patuh pada putusan Munas yang kita buat sendiri," kata Johnson.