Jumat 27 Mar 2015 13:32 WIB

Insentif Petani Rendah, Hambat Ketahanan Pangan

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petani memberi pupuk pada tanaman bawang di Desa Gunting, Sukorjo, Pasuruan, Jatim.
Foto: Antara/Adhitya Hendra
Petani memberi pupuk pada tanaman bawang di Desa Gunting, Sukorjo, Pasuruan, Jatim.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga Pengkajian, Penelitian & Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia menilai bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) masih rendah. Hal ini berpengaruh terhadap program ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah. Pasalnya, dengan NTP rendah banyak petani yang beralih profesi sehingga lahan-lahan pertanian makin terbengkalai.

Anggota LP3E Kadin Indonesia Suharyadi mengatakan, NTP terbesar tercapai pada 2012 dengan nilai 105,24. Sedangkan pada 2013 menurun menjadi 104,92. NTP terendah terjadi pada 2009 yakni hanya mencapai 99,86. Rendahnya NTP membuat petani banyak yang beralih profesi menjadi pekerja serabutan, tukang bangunan, dan pekerjaan lainnya di sektor informal.

"Generasi muda pun cenderung meninggalkan sektor pertanian dan lebih memilih bekerja di sektor industri, serta jasa," ujar Suharyadi dalam diskusi di Kadin Indonesia, Jumat (27/3).

Menurut Suharyadi, banyaknya petani yang beralih profesi membuat produktivitas sektor pertanian akan berkurang. Hal ini tentu saja dapat mengancam cita-cita ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah era Joko Widodo. Produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian menjadi yang paling rendah dibandingkan dengan sektor lainnya, yakni hanya Rp. 34,44 juta per orang per tahun. Sedaangkan, produktivitas tertinggi dipegang oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp. 718 juta per orang per tahun.

Untuk mencapai ketahanan pangan, pemerintah bukan hanya memikirkan soal produksi petani saja. Akan tetapi, persoalan insentif bagi petani juga harus diselesaikan. Suharyadi mengatakan, selama ini petani dituntut untuk meningkatkan produktivitas namun insentifnya sangat kecil dan tidak memadai.

"Upah nominal buruh selama tujuh tahun terakhir memang mengalami kenaikan, namun sebenarnya upah riil buruh tani justru menurun," kata Suharyadi.

Pada Januari 2014, upah riil buruh tani sempat mengalami kenaikan menjadi Rp. 39.372. Akan tetapi, kenaikan tersebut tidak bertahan lama. Pada Februari 2015, upah riil buruh tani kembali turun menjadi Rp. 38.605.

Suharyadi mengatakan, jumlah upah buruh tani secara nominal dan riil sangat kecil dibandingkan upah buruh di sektor industri. Dengan demikian, sangat masuk akal apabila sektor pertanian terus ditinggalkan dan banyak lahan-lahan pertanian yang terbengkalai hingga akhirnya beralihfungsi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement