REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat intelejen dan teroris Margidu Wowiek Prasantyo mengatakan, sebagian besar dari masyarakat yang bergabung dalam kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia adalah orang-orang lama. Orang-orang tersebut, lanjutnya, diketahui merupakan mereka yang pernah bergabung dalam kelompok radikal lama.
"80 persen kami ketahui statistiknya adalah orang-orang lama yang menyetujui Baasyir, JI (Jamaah Islamiyah) dan garis keras lain, orangnya 80 persen masih itu-itu aja," kata Margidu kepada ROL, Jumat (27/3).
Margidu mengatakan, para pemain lama dan dari kelompok lama tersebutlah yang berperan paling besar dalam menyebarkan paham ISIS di Indonesia. "Eks Santoso, eks Poso, itu aja yang masih mem-provoke. Jadi sebenernya orang baru hanya 20 persen saja. Itu statistik yang kita interview. Bahkan di Poso itu orangnya 20-30 udah ketahuan itu-itu aja," ujarnya.
Ia menyebutkan, di Indonesia, ISIS disebarkan dengan melalui jalur-jalur keagamaan, seperti pengajian dalam kelompok kecil. Penyebaran paham pun, lanjut Margidu, dilakukan secara kecil-kecilan dan lebih bersifat personal.
"One on one, one on two. Dan itu sulit sekali meniadakannya. Kalau gerakannya bawah tanah gitu memang harus tangan besi yang menanganinya kayak yang dilakukan Densus sekarang," kata Margidu.
Meski begitu, Margidu menilai UU anti terorisme yang menaungi Densus 88 Anti Teror masih perlu untuk diperbaiki. Menurutnya, perlu ada aturan yang menyatakan bahwa ISIS adalah bahaya laten yang perlu ditindak tegas.
"Kita kan gini, sesekali dibutuhkan tangan besi, dikerasin. Saya setuju untuk kekerasan dalam artian bukan Densusnya yang keras tapi hukumnya yang keras, bukan Densusnya yang nembakin orang, yang teroris dibunuh," ujarnya.