Ahad 29 Mar 2015 15:19 WIB

Muslimah HTI: Pemerintah Latah dengan Kebudayaan Barat

Rep: C13/ Red: Erik Purnama Putra
Muslimah HTI.
Foto: Antara
Muslimah HTI.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Ormas Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengadakan Konferensi Perempuan Internasional di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (28/3). Menurut Juru Bicara (Jubir) Muslimah HTI, Iffah Ainuurrochmah, konferensi tersebut penting dilaksanakan mengingat pandangan negartif terhadap syariat terutama isu perempuan semakin menguat akhir-akhir ini.

Iffah menjelaskan, kaum feminis di Indonesia pernah menggugat 342 peratuaran daerah (Perda) ihwal pakaian perempuan,prostitusi, pornografi, jam malam dan sebagainya. Menurutnya, mereka menganggap perda-perda itu sebagai hal yang diskriminatif dan melumpuhkan kemerdekaan peremuan atas dasar interpretasi agama penduduk mayoritas.

“Perda-perda inilah yang seringkali disebut perda syariah atau pemberlakuan qanun syariat di Aceh dianggap penyebab maraknya trafficking dan kemiskinan,” ujarnya di Botani Square, Bogor. “Maka dari itu kami tegaskan, benarkah syariat Islam melahirkan diskriminasi perempuan?” ungkap Iffah.

Sebagai kontribusi nyata HTI dalam menghadapi permasalahan bangsa, Iffah pun mengungkapkan tiga solusinya. Pertama, dia menegaskan, perda syariat bukan penyebab lahirnya kebobrokan masyarakat terutama perempuan. Menurutnya, itu semua merupakan buah busuk demokrasi yang sistem ekonominya neoliberalisme.

Iffah juga menyatakan bahwa Indonesia memiliki sifat yang latah dengan kebudayaan Barat dalam menerapkan hukum. Menurut dia, pemerintah ikut-ikutan dalam mengagendakan kesetaraan gender yang dinilai bisa mengatasi masalah perempuan.

Padahal, hal itu hanya mengakibatkan kedaulatan negara tergadai dan strategi public dirampok serta anak-anak bangsa tak terurus pendidikannya. “Sejatinya, ini merupakan gaya baru penjajahan alias neoimprealisme,” jelas Iffah.

Solusi kedua, Iffah juga mengatakan ratusan perda dan qanun syariah yang dinilai diskriminatif itu bukan gambaran utuh hukum Islam. Menurutnya, penerapan hukum syariat dalam perda itu masih setengah-setengah.

Solusi ketiga, menurut Iffah, pemberlakuan hukum syariah secara utuh memang harus segera diterapkan. Ia juga menegaskan, saat ini semangat kembali kepada syariat Islam kaffah semakin menguat di Indonesia terutama dari kalangan perempuan. Karena, tambahnya, pada hakikatnya, hukum Islam secara kaffah tidak pernah diskriminasikan perempuan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement