REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai penutupan secara sepihak situs-situs yang dicurigai menyebarkan paham radikalisme sebagai tindakan terburu-buru dan berpotensi menumbuhkan sikap saling curiga di tengah masyarakat.
"Hal itu karena penutupan situs-situs itu tanpa didahului upaya klarifikasi. Setidaknya, sebelum ditutup para pemilik situs itu mesti dipanggil dan dimintai keterangan," katanya di Jakarta, Selasa (31/3).
Dia mengatakan apabila pemerintah menemukan sesuatu yang menyimpang dan membahayakan dalam situs itu maka baru kemudian dilakukan tindakan pemblokiran.
Menurut dia apabila situs-situs itu langsung langsung ditutup, kesannya pemerintah sangat otoriter dan tidak ada ruang diskusi serta klarifikasi karena yang sedikit berbeda, langsung dibungkam.
"Selain itu, pemerintah dinilai belum menetapkan ukuran dan standar tertentu yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam mengidentifikasi situs-situs penyebar paham radikalisme," ujarnya.
Menurut dia dikhawatirkan tanpa standar dan pengertian yang jelas, maka akan banyak situs yang akan diblokir sehingga tindakan seperti itu bisa saja mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi oleh UU.
Namun menurut Saleh di sisi lain, pemblokiran situs-situs tersebut menimbulkan kesan adanya sikap "prejudice" dengan satu agama tertentu.
"Kalau hal itu betul, tentu sangat tidak baik di tengah upaya semua pihak meningkatkan toleransi dan harmonisasi di tengah masyarakat," katanya.
Dia menegaskan pemerintah seharusnya bersifat arif, bijaksana, dan proporsional dalam memperlakukan semua anak bangsa karena tidak boleh ada yang merasa ditinggalkan apalagi dikucilkan.
Menurut dia, tidak semua situs yang diblokir itu menyebarkan paham radikalisme karena ada di antaranya yang betul-betul dipergunakan sebagai media dakwah.
"Kalau dakwah lewat dunia maya tidak diperbolehkan, lalu apa bedanya konten dakwah dan konten judi dan pornografi yang juga diblokir?" katanya.