REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset SETARA Institute Ismail Hasanni menjelaskan definisi radikalisme secara normatif beragam. Ini termasuk definisi radikal versi pemerintah terkait pemblokiran situs Islam.
"Pemerintah menilai radikalisme sebagai gerakan keagamaan, serta pandangan dan tujuannya untuk mengubah hal-hal yang sifatnya fundamental, seperti dasar negara," ungkap Hassani pada Republika, Selasa (31/3). Pengubahan sifat atau hal yang mendasar tersebut, lanjut Hassani, bisa dilakukan dengan kekerasan dan tanpa kekerasan.
Namun, Hassani juga menerangkan penyebaran pandangan yang dianggap radikal oleh pemerintah tidak bisa begitu saja dipidana atau diberangus. "Karena hal itu bagian dari demokrasi. Orang bebas berkekspresi, berpendapat, atau ceramah, kapanpun," tambahnya.
Sedangkan defnisi teroorisme, Hassani berpatokan pada Undang-undang. Terorisme, kata dia, bisa dikatakan sebagai teror ketika ada tindakan. "Harus ada teror, baru bisa didefinisikan terorisme," lanjut Hassani.