REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Catur Suratnoaji mengatakan, selain memakai media sosial, upaya membendung paham radikal juga harus melalui komunikasi interpersonal.
"Deradikalisasi juga harus dikombinasikan dengan pengaruh key person kepada sekelompok orang dengan diskusi dan beberapa upaya persuasi secara personal,” kata Catur, Selasa (31/3).
Pengamat komunikasi Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menambahkan, di negara demokrasi seperti Indonesia, tidak boleh ada usaha-usaha mendorong, menciptakan dan melakukan tindakan radikal oleh satu kelompok ke kelompok lain.
"Setajam apapun konflik, tidak dibenarkan mengambil tindakan melalui kekerasan dari atau ke siapapun juga. Dalam berperang sekalipun ada aturan dan etika yang harus ditaati oleh banyak pihak," kata CEO Survey Lintas Nusantara itu.
Ia menilai, radikalisme tidak boleh ditanamkan melalui teknologi komunikasi misalnya internet. Karena teknologi harusnya digunakan untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk menyebarkan faham radikalisme yang dapat menghancurkan sesuatu.
"Tepat jika pemerintah mengawasi dan melawan radikalime yang tersebar di Indonesia melalui dunia maya seperti Kemenkoinfo dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)," kata Emrus.
Menurutnya ada dua keahlian utama yang dibutuhkan pada lembaga ini, yaitu keahlian information technology (IT) yang mengurusi teknologi komunikasi. Termasuk memblokir dan menghadapi serangan virus yang dapat merusak jaringan internet yang kita gunakan melawan paham radikalisme.
Kedua, ujarnya, keahlian menganalisisis, merancang pesan yang mampu melawan dan menjinakkan isi pesan radikal yaitu ilmuan komunikasi. Kemasan pesan yang dibangun juga harus mampu menciptakan deradikalisme di tengah masyarakat