REPUBLIKA.CO.ID, VANUATU -- Sejumlah donor dan petugas penyelamat bencana mengatakan Badai Tropis Pam menjadi salah satu bencana alam terburuk yang pernah menerjang kawasan Pasifik. Meski demikian, patut disyukuri karena korban jiwa hanya 'sedikit'.
Dengan kecepatan angin mencapai lebih dari 250 kilometer per jam, badai ini masuk dalam kategori lima yang menyebabkan kerusakan parah menyeluruh di sebelah selatan Vanuatu. Tepatnya di Provinsi Shefa dan Tafea.
Sekitar 75 ribu warga terpaksa tinggal di tenda darurat dan 96 persen dari tanaman pangan rusak.
Tetapi tercatat, ada sebelas orang yang menjadi korban jiwa. Mengapa 'sedikit'? Sejumlah ahli dan pengamat mengatakan hal ini disebabkan karena kombinasi antara pengetahuan, teknologi komunikasi yang meningkat, serta kesiapan menghadapi bencana alam.
Dilihat dari sejarahnya, sejak pertama kali Vanuatu dihuni manusia, warganya sudah beberapa kali menghadapi angin topan. Karenanya mereka sudah terbiasa.
Kebanyakan rumah disini dibangun dengan bahan-bahan tradisional, seperti bambu, kayu lokal, dan daun pandan sebagai atap.
Bahan-bahan ini biasanya didapat dari kebun-kebun milik warga dan mudah untuk kembali dibangun.
"Apa yang menyebabkan jumlah korban jiwa sedikit karena bahan-bahannya ringan," ujar Margaret Rodman, Profesor Antropology dari New York University di Toronto baru-baru ini.
Ia juga mengatakan bahwa balai yang biasanya dipakai warga dirancang untuk dapat bertahan dari tekanan akibat badai.
"Dinding dan bahan atap agak berpori sehingga tidak ada perbedaan besar yang Anda lihat dalam struktur modern."
Selain itu, untuk pertama kalinya, Vanuatu menggunakan sistem peringatan lewat SMS kepada warga saat badai akan menerjang.
Pesan teks berisi peringatan dari badan meteorologi nasional, dikirim setiap tiga jam saat topan mulai intensif. Pesan kemudian dikirim setiap jam sesaat badai semakin dekat.
Kiery Manasye, juru bicara kantor perdana menteri, mengatakan bahwa pesan singkat atau SMS ini telah menyelamatkan banyak nyawa.
"Saya berkesempatan untuk berkunjung ke beberapa pulau yang terkena dampak badai. Saya bertanya bagaimana mereka mendapat informasi dan sebagian besar, khususnya di Shefa dan di pulau-pulau, mendapat informasi peringatan lewat SMS," kata Manasye.
Menurutnya jumlah penggunaan telepon di Vanuatu cukup tinggi, bisa dikatakan hampir 80-90 persen warga Vanuatu memiliki akses telepon genggam. Karenanya telepon genggam dianggap sebagai alat komunikasi yang paling penting.
Tak hanya itu, warga di Vanuatu sudah mendapat cukup pengetahuan untuk menghindari bencana.
Salah satunya yang dilakukan oleh Yayasan Palang Merah Dunia, atau Red Cross, yang telah mengajarkan teknik penyelamatan rumah, mempersiapkan tanaman pangan, dan menyimpan pasokan makanan di saat darurat.
Mereka juga telah mendapat penjelasan soal bagaimana merencanakan evakuasi, termasuk mengidentifikasi mereka yang beresiko tinggi saat terjadi bencana.