REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid mengatakan, di negara hukum yang menjunjung hak asazi manusia (HAM) dan kebebasan pers seperti Indonesia, segala hal yang berkaitan dengan tindakan harus berdasarkan hukum. Pernyataan itu disampaikan Hidayat terkait pemblokiran 19 situs Islam yang dinilai radikal oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Pemblokiran itu dilakukan atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). "Apa sih yang dilanggar, dipastikan dulu. Jangan karena laporan dan pemahaman sepihak terhadap sesuatu yang belum final dilakukan eksekusi pemblokiran itu," kata Hidayat di ruang kerjanya di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/4).
Ia pun mengomentari alasan pemblokiran yang menurut BNPT bukan hanya karena paham radikalisme. Namun, juga karena konten berita yang menjelekkan NKRI dan aparatur negara, termasuk Presiden Jokowi.
"Menjelekkan itu kan sangat abstrak dan multi tafsir. Kalau karena menjelekkan itu kemudian dibredel, semua media harus siap-siap berarti," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya melakukan tindakan yang lebih solutif. Jangan sampai, lanjutnya, tindakan yang sembrono malah menimbulkan kesalahpahaman dan masalah baru di masyarakat.
"Harusnya pemerintah lebih konstruktif, lakukan tindakan yang solutif, lebih mengayomi. Kalau ini terkait radikal, ISIS, jangan gunakan cara yang radikal pula," kata Hidayat.
Mantan presiden PKS ini mengatakan, tidak mungkin kalau ingin berantas radikal, tapi yang digunakan justru cara radikal. "Kalau ingin berantas terorisme jangan pakai teror. Panggil, buktikan, kalau ada pelanggaran sampaikan, ada aturan yang Anda langgar," ujarnya.
BNPT melalui surat nomor 149/K.BNPT/3/2015 meminta 19 situs diblokir karena dianggap sebagai situs penggerak paham radikalisme dan sebagai simpatisan radikalisme. Selain itu, konten berita situs-situs tersebut juga dianggap menjelekkan NKRI dan aparatur negara, termasuk Presiden Jokowi.