REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri memberikan 7 poin saran kepada pemerintah terkait penyelesaian masalah Wilayah Kerja Migas yang habis. Poin pertama, Faisal menyebut bahwa pengalihan hal kontrak pengusahaan wilayah kerja Migas seyogyanya tidak menganggu kinerja dan operasional usaha migas pada wilayah bersangkutan, termasuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya produksi termasuk sumber daya manusia.
"Kedua, peralihan kontrak migas perlu diarahkan untuk mendorong peningkatan peran Pertamina di dalam negeri dan mendorong perluasan usaha Pertamina ke luar negeri, tanpa mengorbankan profesionalisme usaha hulu migas," jelas Faisal, Rabu (1/4).
Poin ketiga, lanjut Faisal, bahwa daerah berhak mendapat manfaat optimal dari pengusahaan sumber daya alam migas. Pengusahaan sektor hulu migas memberi manfaat kepada daerah melalui keterlibatan BUMD secara langsung dalam pengusahaan sektor hulu migas.
Keempat, Pertamina akan mendapat hak prioritas dalam pengelolaan wilayah kerja yang habis masa kontraknya. Hal ini sesuai dengan PP no. 35 tahun 2004.
Kelima, dalam kondisi diperlukan, menjadi kewenangan Pertamina untuk menyertakan kontraktor lama pada masa pengelolaan kontrak yang baru. Pengusahaan oleh kontraktor lama pada wilayah kerja migas tersebut dapat ditukar dengan hak pertamina untuk mengelola lapangan di negara lain.
Keenam, perlu disusun Peraturan Daerah terkait Participating Interest bagi BUMD yang akan terlibat dalam pengelolaan lapangan migas. Hal ini agar BUMD tidak terbebani dengan mengeluarkan biaya investasi dan risiko kerugian usaha.
"Terakhir, dalam jangka panjang perlu dipertimbangkan untuk menata kembali skema pembagian pendapatan negara dari sektor hulu migas kepada daerah, sehingga daerah mendapat pendapatan yang lebih pasti dan adil. Misalnya dari First Tranche Petroleum atau dengan skema royalti," lanjut Faisal.