REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Penghasilan para petani rumput laut di Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, turun drastis setelah meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
"Sebelum meledaknya kilang minyak tersebut, penghasilan setiap petani rumput laut di Desa Tablolong berada pada kisaran Rp 50 juta sampai R p60 juta, namun sekarang hanya bisa mencapai Rp20 juta saja per tahun," kata Anwar Daeng, salah seorang petani rumput laut, Rabu (1/4).
Ia mengatakan para petani rumput laut di Tablolong mulai merasakannya sejak 2012 sampai sekarang. Ia mengatakan banyak tanaman rumput laut yang mati, kemungkinan karena wilayah perairan budidaya sudah tercemar minyak.
Menurut Anwar Daeng, para petani rumput laut di Desa Tablolong sudah beberapa kali gagal panen, karena usaha budidaya 'emas hijau' itu tidak berkembang sebagaimana mestinya.
"Kami sudah ganti dengan bibit rumput laut yang lebih berkualitas, namun tetap saja menemui hal yang sama. Kami tidak tahu apa sebabnya, namun setelah meledaknya kilang minyak Montara itu usaha kami mulai terhambat," ujarnya.
Berdasarkan hasil penelitian para ahli dari Australia dan AS, tumpahan minyak mentah yang disertai zat-zat beracun lainnya itu, hampir 80 persen mengotori wilayah perairan Indonesia di Laut Timor.
Gagalnya usaha rumput laut pada sebagian besar wilayah pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur diduga kuat, karena wilayah perairan budidaya sudah terkontaminasi minyak mentah dan zat beracun.
Ketika usaha untuk meredakan aliran minyak di wilayah perairan Laut Timor, Otoritas Keselamatan Maritim Australia (AMSA) malah menyemprotkan zat berbahaya dispersant untuk menenggelamkan buih-buih minyak ke dasar laut.