REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permohonan praperadilan kasus sengketa tanah antara pemohon, Ade Sutisna menghadapi Kapolres Bogor AKBP Sonny Mulvianto Utomo tidak membuahkan hasil. Itu setelah hakim tunggal Erenst Jannes Ulaen menolak seluruh permohonan pemohon dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor, Rabu (1/4/2015).
Hakim dalam pertimbangan putusannya menyatakan permohonan pemohon terkait sah tidaknya status tersangka yang ditetapkan penyidik Polres Bogor tidak seharusnya diselesaikan di praperadilan. Pasalnya, penyidikan dan penetapan tersangka bukan kewenangan praperadilan maka dalil pemohon tidak dipertimbangkan lagi.
"Mengadili menyatakan menolak praperadilan dari pemohon untuk seluruhnya. Membebankan biaya perkara nihil," kata hakim Erenst.
Meski upaya permohonan Ade Sutisna, kata hakim sudah maksimal, namun pemeriksaan alat bukti dapat disampaikan pada persidangan pidana. Selain itu hakim dalam putusannya juga mengingatkan kepada penyidik Polisi bahwa soal sengketa kepemilikan tanah harus terang dulu sebelum dilanjutkan proses pidananya.
Erenst menyatakan, mengutip keterangan ahli pidana Mompang Panggabean, berdasarkan KUHP pada ketentuan Pasal 81 Prejudicieel Geschief bahwa penyelesaian suatu perkara pidana dan ada perkara perdata terlebih dahulu, maka perkara pidana bisa ditanguhkan dulu. "Lebih dulu Menunggu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht," ujarnya.
Erenst mengamini keterangan ahli pidana tersebut mengenai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) 1/1956 dan Surat Edaran MA (Sema) 1/1980 dan Surat Edaran Kejaksaan Agung dalam aturan teknis nomor B.230/E/Ejp/01/2013 tentang penanganan perkara tindak pidana umum yang objeknya berupa tanah, yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.
"Memang kewenangan pada jaksa penuntut umum untuk perkara dinyatakan lengkap. Karena itu jaksa penuntut harus bisa menimbang apakah cukup bukti," ujarnya. Dia menambahkan, objek praperadilan dengan tegas disebutkan dalam Pasal 77 KUHAP.
Menyikapi putusan itu, kuasa hukum Ade Sutisna, Junaidi menilai bahwa pertimbagan hakim praperadilan itu tidak limitatif. Dengan demikian terbuka peluang untuk melakukan penafsiran sesuai Pasal 77 dan Pasal 1 huruf 10 KUHP. Tapi karena di pasal 81 KUHP diatur bahwa penangkapan dan penahahan, penyitaan tidak sah serta SP3 (penghentian penyidikan) yang dapat dipraperadilkan.
"Sayang, hakim dalam menafsirkan hukum dibatasi untuk tidak menafsirkan lain selain penanfsiran hakim yang diperkenankan oleh hukum dimana tentang penyidikan, penetapan tersangka yang tidak sah ini," katanya.