Jumat 03 Apr 2015 09:30 WIB

Meneladani Ketawadhu'an Imam Hanafi (2)

Rep: c 24/ Red: Indah Wulandari
Imam Hanafi (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Imam Hanafi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,Sifat Imam Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Ia menolak pangkat dan menolak harta yang bisa membuatnya dependen. Akibat dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia disiksa, dipukul dan sebagainya.

Gubernur Irak pada waktu itu adalah Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Selaku pemimpin, ia tentu dapat mengangkat dan memberhentikan pegawai yang berada di bawah kekuasaannya.

Suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua urusan perbendaharan negara (Baitul Mal), pengangkatan itu ditolaknya. Ia tidak mau menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gubernur Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya.

Onislam.net mencatat, di lain kesempatan Gubernur Yazid menawarkan pangkat hakim tetapi juga ditolaknya. Rupanya Yazid tidak senang melihat sikap Imam Hanafi tersebut. Seolah-olah Imam Hanafi memusuhi pemerintah, karena itu timbul rasa curiganya. Ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera.

Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum dera itu, Imam Hanafi menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.”

Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya.

Pada suatu hari Yazid memanggil para alim ulama ahli fikih yang terkemuka di Irak yang dikumpulkan di muka istananya. Di antara mereka yang datang ketika itu adalah Ibnu Abi Laila, Ibnu Syblamah, Daud bin Abi Hind, dan lain-lain. Kepada mereka, masing-masing diberi kedudukan resmi oleh Gubernur. Ketika itu gubenur menetapkan Imam Hanafi menjadi Ketua Sekretaris Gubernur.

Tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keluar masuk uang negara. Gubernur dalam memutuskan jabatan itu disertai dengan sumpah, “Jika Abu Hanifah tidak menerima pangkat itu niscaya ia akan dihukum dengan pukulan.”

Walaupun ada ancaman seperti itu, Imam Hanafi tetap menolaknya dengan pernyataan bahwa ia tidak mau menjadi pegawai kerajaan dan tidak mau campur tangan dalam urusan negara.

Akhirnya ia ditangkap oleh gubernur. Kemudian dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu, tapi tanpa dipukul.

Lima belas hari kemudian, ia baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gubernur menawarkan menjadi hakim, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali.

Setiap hari didera sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun mam Hanafi tetap dengan pendiriannya. Sampai ia dilepaskan kembali setelah cukup 110 kali cambukan.

Akibat dari pukulan itu muka dan seluruh badannya menjadi bengkak-bengkak. Hukuman cambuk itu sengaja untuk menghina Imam Hanafi.

Walaupun demikian ketika Imam Hanafi disiksa ia sempat berkata. “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.”

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement