REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Ketua Bidang Kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI), Choli Nafis mengatakan sebelum memutuskan untuk memblokir situs berita yang dianggap menyebarkan paham radikal, maka pemerintah seharusnya mengadakan diskusi terlebih dahulu dengan majelis agama atau tokoh agama.
Sebab menurutnya, yang dapat mendefinisikan suatu paham bertentangan dengan ajaran suatu agama adalah tohoh agama atau orang yang ahli dibidangnya.
"Dengan meminta rekomendasi dahulu kepada majelis agama maka langkah penyadaran dan pembinaan dapat dilakukan terlebih dahulu," katanya kepada Republika, Jumat (3/4).
Ia melanjutkan, jika melalui tahap pembinaan tidak berhasil barulah pemerintah dapat mengambil langkah pemblokiran atau langkah hukum lainnya sesuai aturan yang berlaku di dalam UU pers Nomor 40 tahun 1999.
"Untuk mendefiniskakn suatu paham harus dikembalikan ke tokoh agama, kepada orang yang ahli dibidangnya. Pemerintah dapat menjalankan fungsinya sebagai menjaga ketertiban dan mengantisipasi teror. Bukan malah menjadi fungsi teror ditengah masyarakat. Jadi jangan di balik. Karena dengan pola seperti itu masyarakat menajdi terancam," jelasnya.
Choli menambahkan, penyebaran suatu paham yang mengancam NKRI bukan hanya bisa dilakukan melalui website berita saja. Tetap bisa juga melalui buku, blog maupun sosial media. Untuk itu, pemerintah harus mengaktifkan kembali kelompok masyarakat yang mampu menjadi counter opini.
"Jadi jika ada media yang menghasut, menyebarkan paham radikalisme atau mengancam NKRI maka harus dilakukan counter opini agar lebih mencerdaskan masyarakat," tandasnya.