Jumat 03 Apr 2015 23:28 WIB

LPSK Apresiasi Cara Hakim Buktikan Kasus Guru JIS

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Suasana ruang Tempat kejadian perkara kasus pelecehan kekerasan seksual terhadap murid TK Jakarta International School (JIS) yang dilakukan oleh petugas kebersihan sekolah tersebut, Jakarta Selatan, Jumat (13/6)
Foto: Rakhmawaty La'lang/Republika
Suasana ruang Tempat kejadian perkara kasus pelecehan kekerasan seksual terhadap murid TK Jakarta International School (JIS) yang dilakukan oleh petugas kebersihan sekolah tersebut, Jakarta Selatan, Jumat (13/6)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terhadap dua terdakwa kejahatan seksual di Jakarta Internasional School (JIS). Putusan tersebut diharapkan mampu memberikan efek jera terhadap para pelaku.

"Ini jadi peringatan bagi pelaku lain juga agar tidak melakukan kekerasan seksual pada anak karena peristiwa itu sangat berdampak bagi masa depan korban," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangannya, Jumat (3/4).

Edwin mengatakan, penggunaan teleconference dalam mendengarkan kesaksian saksi korban anak dalam persidangan juga layak diapresiasi. Dengan cara seperti itu, saksi korban anak bisa memberikan keterangan tanpa harus merasa takut untuk bertatap muka dengan para terdakwa.

Dia berharap, pemberian kesaksian melalui teleconference bisa digunakan dalam persidangan lain di seluruh Indonesia. Sehingga, dalam kondisi tertentu, baik saksi, korban maupun saksi korban bisa merasa aman memberikan keterangan di pengadilan. Penggunaan model teleconference, kata dia, mengacu pada UUNomor 13 Tahun 2006 juncto UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Seperti diketahui, Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong dinyatakan bersalah dalam sidang putusan di PN Jaksel, Kamis (2/4). Dalam dakwaan yang berbeda, masing-masing divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan penjara. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut 12 tahun penjara.

Dalam putusan tersebut, terjadi dissenting opinion di antara majelis hakim. Hakim Ketua Nur Aslam Bustaman menginginkan keduanya dijatuhi pidana penjara 15 tahun dan denda Rp 300 juta. Kepala Humas PN Jaksel Made Sutrisna mengatakan, perbedaan pendapat tersebut merupakan sesuatu yang wajar.

Menurutnya, perbedaan terjadi karena setiap hakim memiliki rasa keadilan yang berbeda satu sama lain. Tinggi rendahnya hukuman hanya masalah keadilan yang dirasakan masing-masing hakim. "Yang jelas ketiga hakim sepakat (10 tahun). Masalah tinggi rendahnya hanya rasa keadilan masing-masing hakim saja," katanya.

Dalam putusan majelis hakim yang diketuai Nur Aslam Bustaman, Neil dan Ferdinand terbukti secara sah dan meyakinkan dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat, membujuk dan membiarkan adanya tindakan cabul. Mereka terbukti melanggar tuntutan primer Pasal 82 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement