Selasa 07 Apr 2015 07:00 WIB

Menteri Agraria: Reformulasi PBB Demi Kepentingan Rakyat Kurang Mampu

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan.
Foto: Antara
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursyidan Baldan membuat terobosan yang berpihak kepada rakyat kurang mampu yakni mengusulkan reformulasi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

''Ini merupakan wujud memperkokoh kehadiran negara dalam masalah pertanahan kepada rakyat kurang mampu,'' ujar Ferry saat memberikan keterangan pers di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Senin (6/4).

Ferry menyampaikan dari hasil rapat terbatas, Presiden Joko Widodo meminta untuk menindaklanjuti usulan soal NJOP dan untuk tak menghapus tapi memberikan keringanan pembayaran PBBB bagi masyarakat tak mampu.

''Reformulasi NJOP bertujuan memperjelas tentang pengendalian negara terhadap harga tanah dan mengurangi potensi spekulasi terhadap harga tanah dengan menerapkan Zona Nilai Tanah (ZNT) setiap tahun oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden,'' terang Ferry.

Dijelaskan Ferry, kebijakan terkait NJOP merupakan penetapan batas harga tanah sehingga tidak ada transaksi atau jual beli tanah di atas harga yang ditetapkan pemerintah. Sementara reformulasi PBB, khususnya yang terkait PBB diusulkan hanya dikenakan satu kali saja saat warga negara membeli tanah untuk keperluan rumah tinggal.

Secara psikologis, kebijakan ini akan menumbuhkan dan mempertegas rasa nasionalisme dan kecintaan warga kepada negaranya.

''Jadi, tujuannya agar masyarakat tidak merasa 'ngontrak' di tanah yang dibeli dengan keringatnya sendiri. Mereka beli dan merawat huniannya dengan uang mereka sendiri, tapi harus membayar setiap tahun ke negara seperti orang sewa,'' tutur Ferry.

Ia menambahkan, untuk PBB, dibebaskan atau diringankan untuk warga negara kurang mampu dan bagi masyarakat yang menghuni rumah sendiri yang tidak masuk kategori rumah mewah. ''PBB tetap diberlakukan terhadap properti komersil seperti rumah kontrakan, restoran, pertokoan, perkantoran, hotel, dan lain-lain. Kriteria ini akan diatur dalam Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri,'' ungkapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement