Kamis 09 Apr 2015 06:34 WIB
Kongres PDIP

Tanpa Mbak Mega tidak Ada PDIP

Rep: C82/ Red: Erik Purnama Putra
Pengamat politik LIPI Fachry Ali (tengah).
Foto: Antara
Pengamat politik LIPI Fachry Ali (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, PDIP akan menyelenggarakan Kongres IV pada 9-12 April. Megawati Soekarnoputri diprediksi akan terpilih lagi menjadi ketua umum. Berikut tanggapan pengamat politik LIPI Fachry Ali?

Bagaiamna PDIP jadi partai yang lebih profesional?

Susah. Susahnya itu karena tidak ada yang berani melawan, menggantikan Mbak Mega. Sebab PDIP tanpa Mbak Mega nggak ada PDIP. Dia akan begitu-begitu terus.

Kaderisasi?

Kaderasi iya, tapi di anggota. Sementara pucuk pimpinannya itu masih bersifat kharismatik. Jadi problemnya itu di pucuknya. Karena Mbak Mega adalah identitas PDIP. Karena Mbak Mega identitas PDIP maka tanpa Mbak Mega tidak ada PDIP. Jadi PDIP akan begitu terus.

Profesionalisme?

Kalau misalnya pemimpinnya tetap didasarkan oleh kharisma maka yang di bawah bagaimanapun juga harus tunduk kan. Kan banyak profesor, doktor di PDIP tapi kan harus tunduk pada Mbak Mega. Jadi problemnya itu tadi, PDIP adalah Mbak Mega.

Jadi profesionalisme nggak jalan kalau masih dipimpin Mega?

Itu kesimpulannya terlalu sederhana. Seperti yang tadi sudah saya katakan, kalau Mbak Mega nggak ada, nggak ada PDIP. Jadi PDIP adalah Mbak Mega. Jadi siapapun profesor, doktor yang masuk PDIP dia statusnya adalah pengikut Mbak Mega. Kalau diubah pimpinannya, nggak akan ada PDIP. Karena rohnya PDIP di Mbak Mega itu.

Yang salah adalah orang yang masuk ke situ kalau mau melakukan perubahan, karena tidak mungkin. Karena Mbak Mega dan PDIP tidak bisa dipisahkan, maka kehilangan Mbak Mega sama dengan kehilangan PDIP.

Yang harus dilakukan Mega?

Mbak Mega kalau PDIP mau profesional dia harus pergi dari PDIP. Kalau dia pergi maka PDIP-nya tidak ada. Coba misalnya PDIP dibubarin terus Mbak Mega bikin partai baru misalnya PDIP kuadrat maka orang akan langsung pindah ke PDIP kuadrat itu.

Jadi partai itu secara sosiologis bukan lah korporat, bukan perusahaan, bukan birokrasi yang ditakar dengan tingkat profesionalisme. Partai itu dalam konteks sosiologis adalah instiusionalisasi atau pelembagaan hubungan-hubungan yang bersifat emosional. Yang menjadi tautan emosi massa itu bukan siapa-siapa di PDIP, hanya Mbak Mega. Jadi, membuat partai jadi profesional itu tidak tepat diajukan untuk PDIP.

Ketidakharmonisan internal di PDIP?

Kalau nggak ada mbak Mega lebih tidak harmonis lagi. Rohnya itu Mbak Mega. Jadi mereka bersatu itu karena Mbak Mega. Pasti ada fraksionalisme di situ tapi fraksi-fraksi itu nggak ada artinya tanpa mbak Mega.

PDIP itu bukan korporasi, birokrasi yang harus dikelola secara profesional. PDIP adalah pelembagaan emosi sebagian rakyat yang pertautan tertingginya adalah Mbak Mega. Begitu dia mau dibuat profesional maka partainya nggak jalan. Kalau emosi berarti tidak ada profesionalisme karena profesionalisme itu landasannya rasionalisme. Emosi itu subjektif.

Jadi kenapa Hasto itu dipilih jadi Sekjen, itu nggak ada rasionalnya itu. Karena Mbak Mega mau. Jadi apa yang dibilang Mbak Mega dia akan turuti. Jadi PDIP itu tidak bisa dilihat dari kacamata korporasi, birokrasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement