REPUBLIKA.CO.ID,Dalam membangun akhlak yang sosialis, Tjokroaminoto mencontohkan perilaku sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW (khulafah arrosyidin). Misalnya, ia mencontohkan bagaimana Utsman bin Affan mampu menunjukkan perilaku kemenangan sosialisme terhadap individualisme.
Ia menulis dalam bukunya, “Utsman yang lemah badannya dan tinggi usianya itu, sangat besarlah kekuatan untuk menaklukkan individualisme. Dengan biaya sendiri beliau banyak membeli sumber air dan dijadikannya kepunyaan umum, untuk keperluan rakyatnya. Meskipun, Utsman mati terbunuh setelah menderita lapar selama 10 hari, tetapi dengan tindakannya itu beliau telah menunjukkan kemenangan sosialisme atas individualisme.”
Dalam pandangan Tjokroaminoto, sosialisme Islam lebih mengutamakan akhlak tiap-tiap orang demi terwujudnya masyarakat sosialis sejati.
Menurutnya, akhlak merupakan pondasi atau azas sosialisme. Sosialisme Islam dapat mencapai tujuannya jika setiap orang menerima azas sosialistik dengan memperbaiki akhlak, sifat, dan tabiat mereka terlebih dahulu.
Menurutnya, tabiat serta nafsu manusia dalam keadaan alamiah adalah menjunjung tinggi dirinya sendiri atau egoistis.
Tjokroaminoto menulis, “Tabiat dan nafsu manusia menurut peri-keadaan alamnya (nature) ialah masing-masing akan membesar-besarkan, meninggi-ninggikan dan menjunjung dirinya sendiri.”
Lalu bagaimana sifat egoistis dicegah? Dan bagaimana akhlak personal ini bisa dibangun? Tjokroaminoto menjawab, upaya untuk mencegah sifat buruk serta membangun akhlak personal ini adalah melalui agama. Agama menurutnya adalah kekuatan yang dapat mencegah manusia dari kejahatan atau dosa.
Baginya, hanya agama saja yang mampu menggerakkan manusia untuk mengusahakan segala kekuatan rohani dan kekuatan budi pekerti yang terkandung didalamnya. Ia menulis dalam bukunya:
“Agama adalah kekuatan yang dapat mencegah manusia dari pada melakukan sesuatu kejahatan atau sesuatu dosa, walau di tempat-tempat yang gelap dan tersunyi sekalipun, yang tidak ketahuan oleh mata manusia atau pandangan masyarakat. “
Agama, dinilainya, adalah kekuatan yang menggerakkan seseorang untuk bekerja bagi keselamatan oran lain, dengan tidak mengharapkan sesuatu pembalasan atau pengembalian.