REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Charta Politica, Yuniarto Wijaya menyatakan sebutan petugas partai -- jika memang ditujukan kepada Presiden -- adalah tidak tepat karena bertabrakan dengan sistem presidensial.
"Istilah petugas partai tidak tepat karena bertabrakan dengan sistem presidensial," kata Yuniarto di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa.
Menurut dia, ketika kader partai terpilih menjadi presiden baik sebagai kepala negara maupun pemerintahan maka yang bersangkutan menjadi milik semua golongan di negeri ini.
"Itu artinya presiden harus lepas dari partai, tidak bisa disebut sebagai petugas partai lagi," katanya.
Ia mempersilahkan semua kader partai disebut sebagai petugas partai, namun ketika sudah jadi presiden, aturan yang diberlakukan harus di bawah ketentuan UU.
"Presiden merupakan pilihan rakyat, bukan pilihan partai lagi," kata Yuniarto usai bincang politik sambil makan siang dengan sejumlah pengamat politik lain.
Menurut dia, Presiden tidak perlu memberi tanggapan kepada PDIP yang penting keputusan-keputusan yang diambil independen dan tidak diintervensi partai politik.
"Presiden ada di atas semua golongan, partai politik bisa saja mengkritisi kebijakan pemerintah melalui jalur parlemen," katanya.
Menurut Yuniarto, Jokowi merupakan presiden yang tidak menjadi ketua partai politik. "Ini merupakan hal positif yang bisa diteruskan di masa mendatang," katanya.
Menurut dia, kondisi itu bukan berarti ada deparpolisasi atau peran parpol dikebiri karena partai dapat berperan lebih besar di parlemen.