REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Staf ahli bidang media massa, Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kemenkominfo), Henry Subiakto mengatakan bahwa 21 situs Islam yang diblokir oleh pihaknya bukanlah produk jurnalistik (situs pers).
"Dewan Pers diam saja saat kami memblokir situs tersebut. Kalau situs itu pers, Dewan Pers pasti akan membelanya," ujarnya dalam acara Seminar Nasional Revolusi Mental Pers: Sejarah Baru Pers Indonesia, Yogyakarta, Selasa (14/4).
Menurutnya syarat-syarat produk jurnalistik sama sekali tidak dipenuhi oleh situ-situs yang diblokir oleh pemerintah. Mereka tidak menuliskankan alamat redaksi dengan jelas. Padahal dalam peraturan pers, hal tersebut harus dicantumkan.
"Kebanyakan dari situs itu anonim. Buktinya, dari 21 situs, hanya 12 yang mendatangi Kominfo untuk menyelesaikan perkara tersebut," katanya.
Ia sendiri meyakini, berita-berita yang dibuat oleh situs tersebut bisa jadi tidak berimbang. Sebab keberadaannya pun tidak jelas. "Pemerintah diminta berkomunikasi dengan situs-situs itu. Ya mau komunikasi bagaimana, mereka saja anonim," ucapnya.
Sementara dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Agung Prabowo menyampaikan, agar semua pelaku jurnalistik dapat menjalankan proses kerjanya sesuai dengan ketentuan pers yang berlaku. Terlebih, saat ini pengaruh media sosial sangat besar dalam penyebaran media.
Ia meminta agar pelaku media, termasuk wartawan, mampu menjaga idealismenya dalam mengolah informasi. Agung juga berharap berita yang dibuat harus bermanfaat bagi masyarakat.
Menurutnya keberadaan media sosial dan kemajuan dunia internet saat ini sangat berperan penting pada perubahan kerja jurnalistik. Bahkan seringkali melanggar etika pers. Akibatnya munculah situs-situs yang tidak jelas.