REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi DPR, Mukhamad Misbakhun mengatakan polisi parlemen memiliki kekhasan tersendiri, yang dikendalikan atau diatur dalam Undang-Undang 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
"DPR punya kekhususan tentu Polisi tidak bisa menggunakan standar umum dalam menangani DPR. Inilah yang perlu dilakukan oleh Polisi Parlemen kendali operasinya itu ada di UU MD3 sehingga kekhasannya ada disitu," katanya.
Politikus Partai Golkar itu menjamin dengan adanya polisi parlemen tentu ada perlakuan khusus yang berbeda dengan Polisi lainnya dalam menangani situasi DPR.
Ia pun menegaskan tidak akan ada batasan bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya apabila nanti sudah dibentuk Polisi Parlemen.
"Saya menilai nanti tidak ada batasan bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya kepada DPR," ujarnya.
Misbakhun menjelaskan ide pembentukan polisi parlemen bukan didasari oleh kejadian akhir-akhir ini di gedung Parlemen seperti pemukulan Wakil Ketua Komisi VII DPR Mulyadi dan perebutan Fraksi Partai Golkar. Menurutnya ide pembentukannya sudah lama dalam rangka membentuk skema parlemen modern.
"Ini sudah sangat lama idenya, untuk membangun dan membentuk skema parlemen modern. Jadi tidak ada urusannya dengan kisruh Golkar atau aksi pemukulan kemarin," jelasnya.
Misbakhun menilai pimpinan Polisi Parlemen harus berpangkat Brigadir Jenderal Polisi atau bintang satu karena tanggung jawabnya sangat besar untuk mengoordinasikan pengamanan.
Dia mencontohkan tiap hari DPR RI melakukan rapat kerja dengan menteri atau setingkat menteri sehingga diperlukan kesetaraan koordinasi terutama ketika mengadakan pertemuan dengan Presiden.
"Saya usul bintang satu karena bisa berkoordinasi penuh untuk pengamanan apapun. Nantinya Polisi Parlemen bisa memanggil paksa anggota DPR jika diminta keterangannya dalam persidangan namun semua ini di bawah (sesuai) UU MD3," katanya.
Ia menambahkan adanya Polisi Parlemen, proses penyampaian aspirasi akan tetap bisa sehingga tidak benar keberadaan Polisi Parlemen membatasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi di DPR.