REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Konflik dan krisis di Timur Tengah dan Afrika Utara telah merenggut hak 21 juta anak-anak untuk mendapat pendidikan. PBB merilis laporan terkait risiko anak-anak tersebut keluar sekolah hingga tak mendapat akses ke pendidikan, Rabu (15/4).
UNESCO dan UNICEF melaporkan sekitar 20 negara yang terkena risiko membentang dari Maroko hingga Irak. Pemerintah di wilayah telah berusaha berinvestasi pada pendidikan dalam 10 tahun terakhir.
Namun, perkembangannya lamban dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya karena konflik, tapi juga kemiskinan dan diskriminasi. ''Karena gejolak perubahan dan kekacauan, mereka tidak mampu membuat 21 juta anak pergi ke sekolah,'' kata direktur regional UNICEF, Maria Claivis.
Padahal, tambahnya, anak-anak ini memiliki hak yang sama untuk mendapat kesempatan mengembangan kemampuan mereka melalui edukasi. ''Karena mereka lah yang menjadi generasi penerus dan memiliki peran dalam transformasi negara mereka,'' kata Claivis.
Lebih dari 15 juta anak telah keluar dari sekolah, sementara enam juta lainnya beresiko tinggi dikeluarkan. Beberapa faktor penyebabnya adalah konflik bersenjata, diskriminasi gender, standar pendidikan yang rendah, dipaksa bekerja dan kemiskinan.
Perang di Irak dan Suriah memainkan peran yang sangat tinggi dalam kehancuran sarana dan prasarana sekolah. Tiga juta anak tidak sekolah karena konflik di dua negara ini. Angka kombinasi yang paling tinggi jika dibandingkan negara lain.
Angka diikuti oleh kekerasan di Yaman dan Libya yang baru-baru terjadi. Diperkirakan kerusakannya akan sama pada pendidikan.
''Seiring dengan kekerasan yang meluas, maka risiko semakin menyasar jutaan anak lebih banyak. Mereka akan jadi generasi yang hilang, kehilangan pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk menjadi orang dewasa yang sukses,'' katanya.