Kamis 16 Apr 2015 16:02 WIB

Jokowi Didesak Bebaskan TKI yang Terancam Hukuman Mati

Massa yang tergabung dalam Aliansi TKI Menggungat melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/4).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Massa yang tergabung dalam Aliansi TKI Menggungat melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Migrant Care mendesak Presiden Joko Widodo untuk memimpin langsung diplomasi pembebasan tenaga kerja-tenaga kerja Indonesia (TKI), yang terancam hukuman mati di berbagai negara. Hal tersebut menyusul dieksekusi mati Siti Zaenab di Arab Saudi pada 14 April lalu.

"Jokowi harus memimpin evaluasi secara menyeluruh terhadap seluruh perwakilan Indonesia yang ada di luar negeri untuk melihat bagaimana selama ini SOP pelayanan buruh migran di negara-negara tersebut, baik itu pelayanan administrasi dan bantuan hukum agar tidak ada lagi Siti Zaenab yang lain," tegas Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah di Jakarta, Kamis (16/4).

Berdasarkan data Migrant Care, saat ini terdapat 279 buruh migran Indonesia yang sedang menghadapi hukuman mati dengan rincian 212 orang di Malaysia, 37 orang di Arab Saudi, 1 orang di Singapura, 27 orang di Tiongkok, 1 orang di Qatar, dan 1 orang di Iran.

Dari jumlah tersebut, 60 di antaranya sudah mendapat vonis tetap yaitu di Malaysia 45 orang, Arab Saudi 5 orang, Qatar 1 orang, dan Tiongkok 9 orang. Sedangkan 219 orang sisanya masih dalam proses hukum.

Selain 279 orang tersebut, terdapat pula 92 kasus baru dalam kurun waktu 2013-2015 yang harus segera mendapat respons dari pemerintah. Selain itu, BNP2TKI dan Kemenaker harus melakukan konsolidasi data buruh migran yang terancam hukuman mati karena data di setiap lembaga berbeda-beda.

"Pemerintah kita perlu memperbaiki perlindungan atas tenaga kerja kita yang seakan diperlakukan seperti budak dengan segera menyelesaikan RUU PRT dan menyelesaikan UU tentang buruh migran," katanya.

Sementara Sekretaris Komisi Keadilan dan Kedamaian Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Siswantoko menjelaskan bahwa terjadinya eksekusi mati atas Zaenab merupakan kegagalan atas poin pertama Nawacita Jokowi yang berbunyi negara melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, termasuk menyelesaikan pelanggaran HAM.

"Kasus ini sudah terjadi sejak 1999 dan Presiden Gus Dur telah berhasil menunda pelaksanaan eksekusi dengan menelepon langsung Raja Arab Saudi pada saat itu. Ternyata kurun waktu 14 tahun tidak digunakan secara maksimal oleh pemerintah untuk menangani kasus ini," ujarnya.

Ia melanjutkan, eksekusi mati atas Zaenab, katanya, merupakan pembelajaran bagi negara bahwa pemerintah seharusnya lebih tegas dan strategis dalam mengadvokasi setiap TKI yang menghadapi masalah hukum di negara setempat.

"Yang lebih penting adalah memfasilitasi agar para TKI ini dapat membentuk serikat TKI di negara masing-masing supaya mereka tidak mudah dipermainkan dan jatuh dalam masalah seperti ini," ucapnya.

Seperti diketahui, Siti Zaenab dipidana atas kasus pembunuhan terhadap istri dari pengguna jasanya yang bernama Nourah Bt Abdullah Duhem Al Maruba pada 1999. Setelah melalui rangkaian proses hukum, pada 8 Januari 2001, Pengadilan Madinah menjatuhkan vonis hukuman mati atau qishash kepada Siti Zaenab.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement