REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika garam larut dalam makanan, bekasnya tidak kelihatan, tetapi pengaruhnya dalam citarasa makanan sangat menentukan. Sebaliknya gincu yang dipakai kaum perempuan, terbelalak merah di bibir, tetapi tuna rasa.
"Perbandingan garam dan gincu menurut bacaan saya berasal dari ungkapan Bung Hatta tahun 1976 dalam rangka mendidik umat Islam Indonesia agar lebih arif dalam memperjuangkan cita-cita politik Islam.," ungkap Cendekiawan Muslim Syafii Maarif pada acara peluncuran buku Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemoderenan di Gedung CSIS, Selasa malam (14/4).
Menurut Syafii ungkapan Bung Hatta ("...supaya memakai ilmu garam: terasa tapi tidak kelihatan. Bukanya ilmu gincu, kelihatan tapi tak terasa!") merupakan panduan bagi strategi kultural yang teramat penting yang harus direnungkan oleh umat Islam Indonesia.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini mengatakan, gagasan Bung Hatta ini sangat jelas, tujuannya mendidik umat Islam agar pandai-pandai membawakan diri bilamana ingin memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia.
Menurut Syafii sungguh tajam penglihatan Bung Hatta dalam merekat hubungan Islam dan keindonesiaan. Dia mengungkapkan, belum menemukan nasihat yang semacam ini dari siapa pun, termasuk dari pemimpin-pemimpin puncak partai Islam masa lampau, apalagi sekarang.