REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Muhammad Nasir Djamil menilai, penundaan eksekusi mati terpidana mati kasus narkoba dapat menurunkan wibawa pemerintah di mata publik.
"Semoga penundaan eksekusi mati itu hanya persoalan waktu," katanya pada diskusi "Dialog Pilar Negara: Hukuman Mati Bagi Pengedar Narkoba" di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Senin.
Menurut dia, jika eksekusi mati dilakukan setelah kegiatan peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) seperti yang sudah disampaikan, maka dapat memulihkan wibawa sekaligus keraguan publik. Soal hukuman mati, kata dia, diatur dalam UU KUHP/KUHAP yang sudah diteliti oleh Mahkamah Konstitusi yang diputuskan sesuai dengan konstitusi.
"Kejahatan narkoba adalah kejahatan serius dan dampaknya juga menyebar luas, sehingga penanganannya harus secara serius," katanya.
Guna menangani persoalan narkoba, kata dia, Pemerintah Indonesia telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Narkoba (BNN). Namun, sejak terbentuknya BNN pada 1999 sampai saat ini, menurut dia, ternyata masih ada kesenjangan sumber daya manusia (SDM) meskipun saat ini sudah bisa diantisipasi melalui Aparatur Sipil Negara (ASN).
Anggota DPR dari Provinsi Aceh ini mengimbau pemerintah segera mengeksekusi mati terpidana mati kasus narkoba setelah penyelenggaraan KAA. Menurut Nasir, negara harus dapat mengalahkan para bandar narkoba agar Indonesia tidak dijadikan pasar narkoba.
Sementara itu, pengamat bahaya narkoba Mustafa Fakhri mengatakan, peredaran narkoba di Indonesia karena sindikat narkoba memanfaatkan kelemahan aparatur penegak hukum.
Menurut dia, narkoba beredar luas di Indonesia, meskipun peredarannya secara ilegal, tapi peredaran narkoba sudah menyentuh semua lapisan masyarakat.
Mustafa mengimbau agar Presiden Joko Widodo melakukan langkah tegas dalam memerangi bahaya narkoba, salah satunya merealisasikan eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkoba.