REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Anton Charliyan mengaku kesulitan menghentikan prostitusi online. Pasalnya, situs yang digunakan selalu berubah-ubah.
“Ya ini masalah budaya lama, agak susah, ini abu-abu dengan segala kedok, salon spa, karaoke,” ujar Anton, di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, di Jalan Tirtayasa, Jakarta Selatan, Senin (20/4).
Belum lama ini, masyarakat digegerkan dengan tewasnya Deudeuh di kamar kosnya di Tebet, Jakarta Selatan. Deudeuh merupakan Pekerja Seks Komersial (PSK) yang menawarkan dirinya via media sosial (Medsos). Deudeuh tewas setelah dibunuh oleh pelanggannya sendiri yang sakit hati setelah dihina.
Maraknya prostitusi online, Anton menilai merupakan dampak dari dunia global. Semua hal bisa dilihat tanpa batas di dunia maya. Karena itu, kerjasama antara Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dibutuhkan.
Di samping itu, Anton menambahkan, masukan dari masyarakat juga diperlukan. Sebab, prostitusi juga marak dilakuan di indekos. Hal tersebut sudah terbukti seperti yang terjadi pada Deudeuh.
Dalam kasus ini, ancaman hukuman akan dikenakan kepada mucikari. Menurut Anton, prostitusi juga termasuk sebagai perdagangan orang. Anton juga menilai, konstruksi hukum untuk menjerat pelaku prostitusi belum tegas. “Akhirnya sekarang razia, paling biasanya direhabilitasi,” kata Anton.