REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potensi zakat yang dimiliki Indonesia mencapai 217 triliun rupiah, tetapi pada kenyataannya penyerapan dana zakat baru mencapai 1,5 triliun rupiah pada tahun 2010.
Terjadi gap yang besar antara potensi zakat dan nilai zakat yang terkumpul mengindikasikan ada sebagian orang Islam yang kurang termotivasi untuk membayar zakat.
Riset yang dilakukan Ahmad Mukhlis dan Irfan Syauqi Beik dari Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan membayar zakat.
Riset yang dilakukan di Kabupaten Bogor ini mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan membayar zakat, dan untuk mengidentifikasi faktor yang dominan, agar lebih mudah dalam membuat kebijakan yang optimal.
“Provinsi yang masuk pada wilayah dengan potensi zakat tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan provinsi yang masuk pada wilayah dengan potensi zakat terendah adalah Papua Barat, Papua dan Bali. Ini karena Jawa adalah mayoritas muslim sedangkan Papua dan Bali mayoritas non muslim,” ujar Syauqi Beik dalam keterangan tertulis yang diterima ROL, Selasa (21/4).
Responden yang terlibat dalam riset ini responden laki-laki (69 persen) dan responden perempuan (31 persen) dengan pendapatan berkisar di nilai 2,5 juta-5 juta rupiah. Pada umumnya responden bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), wiraswasta, pekerja swasta, pedagang dan ada juga yang bekerja di BUMN.
Dari hasil riset ini diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan membayar zakat adalah kecakapan organisasi pengelola zakat, tingkat keimanan, tingkat kepedulian sosial, tingkat pemahaman agama, kepuasan diri dan mengharapkan balasan.
Di sisi lain, ternyata individu yang membayar langsung ke penerima zakat memiliki penilaian yang kurang baik terhadap lembaga zakat, hanya 23 persen yang menilai lembaga zakat bersifat transparan dan hanya 15 persen yang menilai lembaga zakat profesional.