REPUBLIKA.CO.ID, GIANYAR -- Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali semakin fokus mendorong pengembangan tanaman padi supaya tidak terjadi defisit neraca perdagangan di Bali. BI berharap agar kapasitas produksi dapat meningkat secara tajam dengan biaya produksi lebih rendah.
"Akhirnya tercapai dua sasaran, yaitu kestabilan harga dan kesejahteraan petani yang meningkat," kata Kepala Kantor Perwakilan BI Bali, Dewi Setyowati dijumpai Republika di Gianyar, Selasa (21/4).
Dewi menambahkan beras merupakan salah satu komoditas penyumbang inflasi terbesar di Bali. Sepanjang 2014, beras menyebabkan enam kali inflasi di Bali dan 16 kali selama tiga tahun terakhir.
Di sisi lain, Kementerian Pertanian menargetkan produksi padi di Bali meningkat 20 persen per tahun. Tahun ini, produksi padi di Bali diperkirakan mencapai 498.500 ton dengan kebutuhan konsumsi beras 535.300 ton. Dengan demikian, terjadi defisit sebesar 36.700 ton.
Ditinjau dari neraca pangan, Bali mengalami defisit beras hampir tiga kali lipat dalam tiga tahun, yaitu 11.400 ton pada 2013 menjadi 36.700 ton tahun ini. Dewi menilai defisit yang hampir tiga kali lipat dalam setahun ini dikarenakan Bali harus memenuhi kebutuhan beras untuk penduduknya yang berjumlah 4,2 juta jiwa ditambah wisatawan yang datang ke Bali mencapai 10 juta orang setahun.
Kepala Dinas Pertanian, Perhutanan, dan Perkebunan Kabupaten Gianyar, I Gusti Ayu Dewi Hariani mengatakan BI Bali secara khusus bekerja sama dengan pemerintahan daerah untuk mengembangkan demplot sawah seluas satu hektare (ha) di Desa Pejeng dan 10 ha di Desa Tampaksiring, Gianyar. Penanaman di Desa Pejeng telah digelar pada Selasa (21/4) hari ini.
"Demplot percontohan ini menerapkan sistem pertanian organik. Masyarakat petani bisa menerima ini sehingga efektif meningkatkan produksi padi tanpa merusak lingkungan," katanya.
Teknik budidaya yang digunakan adalah System of Rice Intensification (SRI) dan pupuk organik berbasis Microbacter Alfalfa 11 (MA-11). Demplot tersebut menggunakan bibit padi unggul jenis Tioti. Penggunaan bibit unggul dan pupuk MA-11 ini bisa menghemat air 20-30 persen dibandingkan metode konvensional.