REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak pemerintah menunda rencana eksekusi mati terpidana narkoba asal Filipina, Mary Jane Veloso karena ia adalah korban perdagangan manusia (human trafficking) yang dijebak untuk mengedarkan obat-obatan terlarang.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan, situasi kondisi kerentanan yang menyebabkan Mary Jane terjebak dalam mafia perdagangan orang dan mafia narkoba nasional. Kondisi yang ia maksud diantaranya Mary Jane direkrut untuk bekerja di Malaysia, kemudian diminta oleh perekrutnya untuk ke Indonesia dengan janji akan segera dipekerjakan setelah kembali sepulang dari Indonesia. Ia menyebut, Mary Jane ditipu, dijadikan kurir narkoba.
“Adapun caranya diberi tas untuk menyimpan pakaian dan peralatan pribadinya di Malaysia, tanpa sepengetahuannya telah dimasukkan heroin seberat 2,6 kilogram. Ia hanya korban perdagangan manusia untuk tujuan perdagangan narkotika internasional, bukan gembong,” katanya saat konferensi pers Komnas Perempuan dengan tema "Penyikapan Mekanisme HAM Nasional dan Regional terhadap Kasus Mary Jane Veloso", di Jakarta, Jumat (24/4).
Mary Jane, kata dia, juga korban pemiskinan. Mata pencaharian utama keluarga Mary Jane adalah pengumpul dan penjual barang bekas. Ini ditambah latar belakang pendidikan Mary Jane yang hanya hingga sekolah menengah pertama kelas I. Mary Jane juga disebutnya korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). KDRT yang memaksanya mengambil alih peran kepala keluarga dan minimnya pengetahuan maupun pendidikan akibat pemiskinan dan pernikahan usia anak.
“Situasi kondisi itu terungkap setelah kami melakukan pemantauan langsung intensif selama empat hari. Kami selama tiga hari bertemu Mary Jane di Lapas Wirogunan dan sejumlah orang-orang kunci yang mengetahui detil tentang kasusnya,” katanya.
Pihaknya juga mengkritik peradilan di Indonesia dalam proses penyidikan, penanganan, penuntutan, dan penghukuman yang belum menggunakan kerangka Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 1984.
Pada proses pemeriksaan penyidikan dan pengadilan, kata dia, aparat juga mengabaikan hukum acara pidana. Pihaknya juga kecewa selama proses peradilan Mary Jane Veloso tidak didampingi oleh ahli bahasa atau penerjemah Bahasa Tagalog yang kompeten, sehingga ia tidak memahami berita acara pemeriksaan dan proses persidangan atas kasus nya sendiri.
Kesalahan-kesalahan seperti ini dinilainya membuat tidak terungkapnya fakta peristiwa sesungguhnya yang dialami Mary Jane. Menurutnya, peradilan hanya menghukum seseorang yang tertangkap tetapi tidak cukup membuka dan meluaskan investigasi terhadap pelaku sesungguhnya mafia perdagangan narkotika tersebut.
“Untuk itu, kami meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) jangan eksekusi mati Mary Jane. Beri kesempatan kedua untuk menempuh permohonan peninjauan kembali (PK) kedua yang sedang diajukan oleh tim penasehat hukumnya,” katanya.
Saat ini, kata dia, Mary Jane juga menanti proses hukum di Filipina yang sedang mengupayakan proses penjeratan pelaku utama perdagangan orang yang menjeratnya. Ia meminta jangan sampai Indonesia terlanjut eksekusi mati seseorang yang nantinya terbukti sebagai korban perdagangan orang.
Komnas Perempuan juga meminta presiden dan para pihak terkait memperbaiki sistem hukum dan penegakan hukum di Tanah Air untuk menimbang dimensi perempuan yang rentan diperangkap menjadi korban human trafficking untuk perdagangan narkoba. Ia mengklaim, penyelamatan Mary Jane juga pintu masuk bagi Indonesia untuk menyelamatkan 227 pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri.
“Karena, kasus Mary Jane sama persis dengan nasib buruh migran kita yang banyak dijebak dalam sindikat perdagangan narkoba internasional,” ujarnya.