REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris mengaku geram dengan pesta bikini bertajuk “Splash After Party” yang sejatinya diselenggarakan pada 25 April. Meski secara resmi dibatalkan, senator yang membidangi persoalan pendidikan ini bahkan meminta sekolah-sekolah yang dicatut namanya dalam event tersebut menuntut panitia penyelenggara acara.
“Saya minta sekolah-sekolah yang namanya dicatut, laporkan EO yang bernama Divine Production itu ke polisi atas pencemaran nama baik. Kelakukan mereka benar-benar tidak bisa dimaafkan, mencatut nama sekolah untuk menjebak anak-anak kita agar ikut acara yang bahaya ini. Pokoknya, orang-orang seperti ini harus diberi sanksi hukum tegas,” ujar Fahira.
Secara hukum, Fahira menuturkan, tuntutan tersebut sudah memenuhinya. Karena sekolah-sekolah yang namanya dicatut diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya tercela di depan hukum. Hukuman bisa berlapis lantaran informasi disebarkan ke media sosial yang bisa terjerat UU ITE.
“Menurut KUHP, unsur pencemaran nama baik sudah terpenuhi. Karena informasi ini juga disebar di media sosial maka pelaku juga harus dijerat dengan UU ITE dengan ancaman pidana enam tahun. Kalau memang nanti terbukti bersalah, izinnya juga harus dicabut,” katanya.
Fahira menduga fenomena pesta usai ujian nasional (UN) tidak hanya menyasar siswa SMA di Jakarta. Tapi juga di kota-kota besar lain di Indonesia. Para remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri menjadi sasaran empuk oknum-oknum yang ingin mencari keuntungan pribadi tanpa memikirkan dampak kerusakan dari acara yang mereka buat.
“Anak-anak kita ini jadi korban. Biang masalah yang merusak remaja kita ini. orang-orang dewasa yang di otaknya hanya bagaimana memanfaatkan momentum untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan rasa ingin tahu remaja kita yang begitu besar. Orang-orang seperti yang harus diberantas, dan ini momentumnya,” tambahnya.