REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), Markus Wauran mengatakan sejumlah negara maju berlomba-lomba membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Kondisi itu, kata dia, berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia.
"Sementara di Tanah Air masih dalam perdebatan," ujar Markus dalam diskusi di Jakarta, Senin (27/4).
Hal tersebut sangat disayangkan, kata dia, saa Amerika Serikat punya 100 PLTN, dan sekarang lagi membangun lima unit PLTN lagi. Kemudian Rusia, sambungnya, yang saat ini memiliki 33 PLTN, dan sedang membangun 11 PLTN baru.
"Tiongkok juga memiliki 27 unit PLTN yang beroperasi, dan sedang membangun 23 unit lagi," jelasnya.
Padahal, lanjutnya, di negara-negara tersebut juga banyak kandungan minyak bumi dan gas. Menurut Markus, diversifikasi energi dilakukan para negara maju itu bertujuan agar tidak tergantung pada satu sumber energi. PLTN hemat 100 kali dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
"Begitu juga dengan pembangkit berbahan bakar terbarukan. Potensinya hanya 27.000 MW. Jika seperti itu sulit mencapai ketahanan energi," kata dia.
PLTN, lanjut Markus, merupakan jalan keluar agar persoalan krisis listrik bisa teratasi. Dia juga mengharapkan semakin banyak kepala daerah yang menginginkan agar PLTN dibangun di daerahnya.
"Sekarang semuanya bergantung Presiden Jokowi," tukas dia.