REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Saufa A Taqiyya
Dalam kitab al-Mustadrak, Imam hakim meriwayatkan sebuah hadis dari 'Aisyah RA yang berkisah tentang peristiwa setelah Isra' Mi'raj. Orang-orang musyrikin datang menemui Abu Bakar as-Shiddiq.
Mereka mengatakan, “Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad SAW)!” Abu Bakar berkata, “Apa yang beliau ucapkan?” Orang-orang musyrik berkata, “Dia menyangka bahwasanya dia telah pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut hanya berlangsung satu malam.”
Abu Bakar berkata, “Jika memang beliau yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur.”
Orang-orang musyrik kembali bertanya, “Mengapa demikian?” Abu Bakar menjawab, “Aku membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan. Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?”
Karena peristiwa itulah kemudian Abu Bakar mendapat gelar as-Shiddiq yang artinya orang yang membenarkan.
Ketika banyak orang meragukan apa yang dikatakan Rasulullah SAW, dengan penuh keyakinan Abu Bakar membenarkan peristiwa yang mungkin sulit dicerna akal sehat dan logika. Tapi, kekuatan iman membuat Abu Bakar yakin akan setiap perkataan rasul, bahkan untuk hal-hal yang tak masuk akal.
Dalam banyak kisah, iman menjadi generator utama dalam diri seorang Muslim yang dapat membangkitkan kekuatan luar biasa. Kekuatan iman dapat mengalahkan kuatnya logika.
Kekuatan iman pula yang dapat menjadikan kepedihan yang teramat sangat menjadi kenikmatan. Dan, yang lebih luar biasa lagi, iman dapat menjadikan kesabaran seseorang menjadi berlapis-lapis.
Kisah lain yang dapat menegaskan betapa besar kekuatan iman adalah kisah Bilal bin Rabah, muazin Rasulullah SAW.
Dalam kitab Rijalun Haularrasul, Khalid bin Muhammad Khalid mengisahkan keteguhan seorang Bilal memegang keimanannya. Bilal yang pada mulanya seorang budak disiksa tuannya dengan batu panas agar ia meninggalkan Islam.
Dalam kesakitan yang luar biasa, jangankan meninggalkan Islam, ia justru menjawab “... ahad... ahad,” Allah yang Maha Tunggal. Imannya sama sekali tak goyah. Keimanan pada Allah SWT memberi kekuatan yang mengalahkan rasa sakitnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kita sadari, iman juga telah memberikan kita kekuatan. Iman membuat seorang Muslimah mau menutup rapat auratnya di tengah iming-iming fashion saat ini.
Logika sederhana, tanpa hijab seorang wanita terlihat lebih cantik karena rambut merupakan salah satu kebanggan kaum hawa. Atau, mungkin memakai hijab bagi sebagian orang membuat gerah, terlebih di siang hari yang panas.
Namun, iman memberi mereka kekuatan untuk tetap menjalankan syariat-Nya. Mereka tetap memakai hijab dengan tantangan iman yang sedemikian hebatnya dewasa ini.
Begitulah, iman membangkitkan kekuatan kita dalam menghadapi cobaan hidup. Logika jadi tak penting karena logis bukan syarat keimanan, seperti yang terjadi saat Isra' Mi'raj.
Kepedihan pun menjadi terasa ringan, begitu juga cobaan hidup yang datang setiap saat. Iman menjadikan kita tegar dalam hidup.