REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA --- Pemerintah diminta melakukan revisi penerimaan pajak pada APBNP 2015. Realisasi APBNP dipekirakan tidak akan mencapai target.
Chief Economist Bank BRI Anggito Abimanyu mengatakan, realisasi APBNP dipekirakan tidak akan mencapai target, bahkan diperkirakan sulir mencapai 90 persen. Baik penerimaan perpajakan maupun belanja kementerian/lembaga, khususnya belanja modal.
Defisit APBNP 2015 diperkirakan akan melonjak, meskipun dengan penambahan pembiayaan dari Surat Berharga Negara (SBN), akan terjadi potensi kekurangan pembiayaan. Oleh sebab itu, pemerintah disarankan untuk menempuh jalan pengajuan APBNP 2015 tahap kedua secara terbatas, khususnya pada target penerimaan perpajakan dan belanja Kementerian/Lembaga.
Anggito menjelaskan, target penerimaan pajak dalam APBNP 2015 sebesar Rp 1.250 triliun, pada Januari-Maret realisasinya baru 13 persen. Diperkirakan, realisasi penerimaan pajak pada Desember 2015 sebesar 81 persen. Sehingga penerimaan pajak akan kekurangan Rp 220 triliun. Penerbitan SBN gros targetnya sebesar Rp 413 triliun, realisasi Januari-Maret sudah mencapai 47 persen. Diperkirakan pada Desember akan mencapai 120 persen atau selisih Rp 82,6 triliun.
Sedangkan, target pencairan anggaran Kementerian/Lembaga sebesar Rp 647 triliun, realisasi Januari-Maret baru sebesar 18 persen. Diperkirakan realisasi Desember akan mencapai 85 persen, atau terdapat selisih minus Rp 97 triliun. Target anggaran infrastruktur sebesar Rp 290 triliun, realisasi Januari-Maret baru mencapai 5 persen. Diperkirakan realisasi Desember hanya 80 persen, atau terjadi selisih minus Rp 58 triliun.
"Situasi APBNP tidak menguntungkan karena target terlalu ambisius dan dilakukan saat ekonomi mengalami perlambatan. Saya usul dilakukan revisi APBNP tahap kedua. Saya kira market akan lebih punya kepastian, sekaligus target penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi dirasionalkan," jelas Anggito di Jakarta, Senin (27/4).
Dengan rasionalisasi target penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi, menurutnya market akan dingin, dan market tidak akan bersaing dengan pemerintah, karena pemerintah punya previllage. Menurutnya, pelambatan ekonomi kuartal I-2015 cukup serius, karena ada risiko pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun 2015 berada di batas bawah 5,2 persen.
Anggito memaparkan, dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, ruang untuk revisi APBNP itu setiap waktu tidak harus menunggu satu semester setelah pengetokan pada Februari. Menurutnya, revisi pada Februari tidak sesuai kondisi fundamental. Bisa saja pemerintah melakukan revisi APBNP kedua yang semakin cepat akan semakin baik agar tidak kelewatan.
Selain itu, DPR tidak bisa membahas apa yang tidak diusulkan pemerintah karena sesuai ketentuan yang dibahas adalah yang diusulkan pemerintah. Masalahnya, kata Anggito, target penerimaan pajak terlalu tinggi, sehingga perlu disesuaikan dengan belanja.
Menurutnya, target penerimaan pajak kurang rasional karena tidak pernah ada 1 tahun kenaikan pajak di atas 1,5 persen dari PDB, atau pertumbuhan kenaikan pajak 5 persen di atas pertumbuhan nominal PDB. Sementara, sekarang itu penerimaan pajak tumbuhnya lebih dari 30 persen, sehingga membuat pelaku bisnis ketakutan.
Pelaku bisnis agak waspada dengan upaya penerimaan pajak yang eksesif. Padahal, di negara lain penerimaan pajak gradual, kenaikannya sekitar 0,5 persen dari PDB. Misalnya di Filipina menaikkan target penerimaan pajak sebesar 2 persen dari PDB selama 4 tahun.
"Itu harus dipelajari historisnya. Pemerintah belum terlambat, mungkin turunkan 20 persen supaya struktur usaha saat ini bisa relaksasi. Sekarang ini yang dibutuhkan relaksasi dalam perpajakan," pungkasnya.