REPUBLIKA.CO.ID,oleh Nashih Nashrullah
Resonansi Buya Syafii Maarif di Harian Republika Selasa (28/4) dengan judul "Kapan Umat Islam Muak Berperang? (I) (Berkaca pada Perang Unta dan Perang Siffin)," kembali mengungkit soal intrik politik yang pernah terjadi di tengah-tengah sahabat. Benarkah intrik tersebut dilatar belakangi oleh ambisi merebut kekuasaan?
Belakangan, hujatan terhadap para sahabat yang pernah terlibat dalam konflik itu kembeli diungkit dan dikritik. Syekh Muhammad bin Abdullah al-Imam mencoba mengklarifikasi berbagi konflik yang mencatut para sahabat dan tabiin tersebut dalam kitabnya yang berjudul Tamam al-Minnah fi Fiqh Qital al-Fitnah.
Ia menegaskan, Perang Shiffin dan Jamal bukan bentuk dari ambisi kekuasaan dan politik atau karena motif duniawi. Insiden itu tak lain adalah fitnah dan cobaan. Ia mengutip perkataan Abdullah Ibn al-Mubarak, bahwa pedang yang terhunus di antara para sahabat ketika itu adalah cobaan, meski Ibn al-Mubarak enggan menyebut bahwa para sahabat itu tengah diuji. Sebab itu kata Sa’id al-Khudri, lebih baik tidak berkomentar lebih jauh dan tak berdasar.”Serahkan perkara ini kepada Allah,” katanya.
Kita tentu tidak diperkanankan untuk berburuk sangka terhadap sahabat. Apalagi terburu-buru memukul rata bahwa karakter sahabat enggan berdamai dan memilih jalan konflik. Dalam tradisi keagamaan Sunni. Sahabat, tetap menyandang gelar udul, berintegritas dan kredibel, meski mereka terlibat dalam fitnah tersebut. Sunni memandang posisi sahabat sangat strategis dan vital. Bangunan risalah yang diturunkan dari Rasulullah SAW secara turun menurun itu memosisikan sahabat sebagai muara dan hulunya. Menyerang sahabat, sama saja meruntuhkan fondasi itu.
Imam Abu Hasan al-Asy’ari, dalam kitabnya yang berjudul Risalah ia Ahl at-Tughr, mengomentari konflik yang menimpa sahabat baik pada Perang Jamal, atau Perang Shiffin. Para ulama Sunni sepakat untuk tetap berbaik sangka dan tidak menghujat mereka.
Permasalahan duniawi mendorong sahabat terlibat dalam konflik itu, tak serta merta menggugurkan hak-hak istimewa mereka. Al-Asy’ari menegaskan kembali pernyataan ini dalam kitab al-Ibanah fi Ushul ad-Diyanah seraya menjelaskan bahwa insiden antara Ali bin Abi Thalib, az-Zubair bin al-Awwam dan Aisyah, atau antara Ali dan Muawiyah itu murni dilatarbelakangi oleh ijtihad, dan bukan ambisi duniawi. Mereka adalah para ahli ijtihad dan bukan tertuduh. Allah SWT dan Rasul-Nya telah memuji para. Jangan sampai terjerumus untuk mencela mereka.
Anggapan bahwa para sahabat yang bertikai ketika itu berangkat dari hasil ijtihad, yang bisa jadi salah dan juga benar, ditegaskan pula oleh Ibnu Fawrak dalam Majarrad Maqalat al-Asy’ari. Ia berpendapat sahabat Thalhah dan berseberangan dengan Ali, tetapi keputusan mereka itu dilandasi sebuah ijtihad.
Keduanya bersikukuh benar sekalipun bisa juga salah. Meski demikian, keduanya menyesal dan bertaubat hingga ajal menjemput. Apa yang dilakukan keduanya tak bisa dikategorikan sebagai fasik atau kafir karena dalam konteks ijtihad, tidak bisa divonis sesat atau keluar dari agama.
Selanjutnya, agar tidak terjebak menvonis negatif para sahabat Abu Ishaq as-Syairazi dalam kitab teologinya yang bertajuk al-Isyarah ila Madzhab Ahl al-Haq mengatakan bahwa wajib hukumnya tidak mempersoalan insiden yang pernah melibatkan para sahabat dan tetap berprasangka baik kepada mereka.
Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam karya monumentalnya di bidang teologi al-Iqtishad fi al-I’tiqad, mengingatkan agar selektif mengutip data-data sejarah yang berkaitan dengan konflik yang pernah berlangsung dan melibatkan generasi sahabat.
Kebanyakan didominasi oleh riwayat-riwayat ahad. Jika pun ada yang shahih tetapi banyak yang berbaur dengan data yang tak valid dan sebagiannya justru hasil rekayasa dari Rafidhah dan Khawarij.
Al-Ghazali menambahkan seyogianya lazim menampik data apapun yang tak valid dan otentik, sekalipun akurat dan shahih, jangan ditelan mentah-mentah perlu penakwilan agar tak salah paham. Jika memang tidak mampu menghadirkan dan merangkai data sejarah itu secara integral, lebih baik mengatakan tidak tahu.