REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Seorang analis politik di Australia, yang juga pengamat Presiden Joko Widodo, mengatakan, tindakan diplomatik Pemerintah Australia untuk menarik Duta Besar-nya di Jakarta kemungkinan akan menjadi bumerang.
Indonesia melakukan pembelaan terhadap eksekusi 2 warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, menyebut meski hukuman mati tak ‘menyenangkan’, penerapannya sangat penting dalam perang melawan narkoba.
Jaksa agung Indonesia, Muhammad Prasetyo, mengkonfirmasi bahwa Chan dan Sukumaran bersama dengan empat orang Afrika dan Brasil dieksekusi secara simultan pada pukul 00:35 pagi WIB. Eksekusi dilakukan oleh satu regu tembak terdiri dari 13 orang untuk masing-masing terpidana.
Jaksa Agung mengatakan, tim medis mengkonfirmasi kematian mereka tiga menit kemudian. "Semua tembakan berjalan dengan sempurna. Eksekusi ini dilakukan dengan lancar dan teratur - jauh lebih baik daripada babak pertama eksekusi pada bulan Januari," katanya baru-baru ini.
Kantor berita AFP melaporkan, menurut seorang pendeta yang hadir saat eksekusi, seluruh terpidana mati menolak menggunakan penutup mata dan menyanyikan lagu-lagu pujian, di antaranya Amazing Grace, sebelum tewas.
Eksekusi terjadi meskipun ada banding konsisten dari Pemerintah Australia dan banding terakhir dari anggota keluarga duo Bali Nine, kemarin malam (28/4).
"Kami berperang melawan kejahatan narkoba yang mengerikan, yang mengancam kelangsungan bangsa kami. Kami tidak sedang membuat permusuhan dengan negara asal sang terpidana mati. Apa yang kami perangi adalah kejahatan terkait narkoba," ucap Jaksa Prasetyo kepada wartawan di Cilacap, di seberang pulau Nusakambangan.
Presiden Joko Widodo, yang telah menjadi pendukung vokal dari hukuman mati bagi para pengedar narkoba, juga membela eksekusi tersebut: "Ini adalah aturan hukum kami, aturan hukum mengenai hukuman mati. Kami juga menghormati hukum negara lain.”
Jaksa Agung Prasetyo menegaskan, jenazah Chan dan Sukumaran akan dikembalikan ke Australia.
"Dari delapan narapidana yang dieksekusi, empat dari mereka, sesuai dengan permintaan terakhir, akan dibawa kembali ke negara asalnya. Dua ke Australia, satu ke Brasil dan satu lagi ke Nigeria," jelasnya.
Sementara terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Veloso, sebenarnya juga direncanakan untuk menjalani eksekusi, tapi kemudian diberi kesempatan penangguhan setelah sepupunya menyerahkan diri ke otoritas Filipina, mengakui bertanggung jawab atas narkoba yang ditemukan di bagasi Mary Jane.
"Ia diminta untuk memberikan kesaksian guna mengungkap kasus perdagangan manusia. Hal ini telah menyebabkan penundaan eksekusi Mary Jane, karena kami menghormati proses hukum yang sedang dilaksanakan di Filipina," ungkap Jaksa Agung Prasetyo.
Jaksa Prasetyo dianggap menyepelekan penarikan Duta Besar Australia, Paul Grigson, seraya menggambarkannya sebagai ‘reaksi sementara’.
Ia menunjukkan bahwa Belanda dan Brasil mengambil langkah yang sama setelah warga mereka dieksekusi pada bulan Januari.
Analis Australia: penarikan Dubes kemungkinan jadi bumerang
Salah satu analis top Australia di bidang studi Indonesia dan pengamat Presiden Joko Widodo mengatakan, tindakan diplomatik Pemerintah Australia kemungkinan akan menjadi bumerang.
Aaron Connolly, seorang peneliti di Program Asia Timur dari Institut Lowy, mengatakan, sangat disayangkan PM Abbott memilih untuk menarik duta besar untuk mengekspresikan ketidaksenangan Australia.
"Bolanya benar-benar ada di pengadilan Indonesia. Saya tak yakin mereka mengantisipasi Australia yang bereaksi dengan cara ini. Dari sudut pandang mereka, ini bukan masalah kebijakan luar negeri, ini adalah masalah melaksanakan hukuman yang ditetapkan oleh pengadilan,” utaranya.
Aaron mengatakan, ada berbagai pilihan lain yang tersedia untuk Pemerintah Australia.
"Mereka bisa mengurangi jumlah kunjungan menteri, terutama dengan karakter yang kita pahami bermasalah, dan mendorong Indonesia mundur bukannya ke depan," sebutnya.
Ia menerangkan, "Ada saran yang menyebut bahwa Pemerintah Australia seharusnya menangguhkan bantuan ke Indonesia, menangguhkan kerjasama di berbagai bidang seperti keamanan dan kepolisian."
Tapi Aaron justru mengemukakan bahwa opsi itu akan menjadi sebuah kesalahan.
Dalam kasus penarikan Duta besar, Aaron menjelaskan bahwa PM Abbott jelas mengisyaratkan bahwa hubungan dengan Indonesia sangatlah penting.
"Saya pikir perkataan Perdana Menteri pagi ini tepat, tetapi dalam hal hubungan, Indonesia tentu percaya bahwa Australia lebih memerlukan Indonesia ketimbang negaranya memerlukan Australia," ujarnya.
Ia menambahkan, "Kedutaan Besar Australia di Jakarta benar-benar melakukan segala sesuatu yang mereka bisa, tetapi kenyataannya ini adalah sesuatu yang Jokowi, Presiden Joko Widodo, bertekad untuk melakukannya, [dan] banyak dari kita tak menangkap hal itu."