REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengharapkan pemerintah Indonesia menyikapi penarikan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Paul Grigson, dengan hati-hati karena Australia berada pada posisi sulit.
"Masih ada tujuh terpidana mati lain. Juga tekanan masyarakat sangat besar untuk memberikan sanksi ekonomi dan diplomatik terhadap RI," kata Teuku Rezasyah saat dihubungi di Jakarta, Kamis (30/4).
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Democracy, Diplomacy and Defence (IC3D) tersebut, penarikan pulang Duta Besar Australia dari Indonesia, walau untuk waktu yang tidak ditentukan, merupakan bukti kekecewaan Australia atas pelaksanaan hukuman mati terhadap warga negara mereka.
"Penarikan ini ternyata diperkuat oleh tekanan masyarakat Australia karena merasa tersinggung dengan sikap aparatur RI di Nusakambangan, yang menurut mereka terlalu prosedural dan tidak simpatik dalam menangani para keluarga yang datang dari Australia," kata Rezasyah.
Selain itu, ia mengatakan masyarakat Australia juga mengkritisi lambannya penyelesaian kasus pelanggaran etika yang mereka tuduhkan pada hakim yang menangani kasus Bali 9. Dengan demikian, hukuman mati atas duo Bali Nine sebagai tidak tepat, sebelum pemerintah RI melakukan penyelidikan internal.
"Guna mencegah krisis menjadi tidak terkendali, diharapkan pemerintah RI mengelola krisis ini dengan baik," kata dia.
Caranya, lanjut dia, pemerintah tidak menarik Duta Besar RI dari Australia. Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan rencana penarikan Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson merupakan perkara yang biasa terjadi dalam hubungan diplomatik antarnegara.
"Kalau dia (Pemerintah Australia) bereaksi keras dan menarik dubesnya itu perkara biasa dalam hubungan diplomatik suatu negara. Jadi, menandakan ketidaksenangannya," kata Kalla di kantor Wapres Jakarta, Rabu (29/4).
Menurut dia, bagaimanapun tanggapan negara lain mengenai hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba, Indonesia tetap berpegang pada hukum. Wapres mengatakan, pernyataan ketidaksukaan Pemerintah Australia merupakan kepentingan politik domestik.
"Sama juga kita, Indonesia. Kalau ada yang dihukum mati di Arab Saudi, di Malaysia, semua kita (masyarakat Indonesia) bereaksi keras, itu biasa. Malah, kita juga yang pertama menarik dubes di Australia, menarik dubes di Brasil," ujar Kalla.
Wapres menegaskan, keputusan hukuman mati bukan kehendak Presiden ataupun Wakil Presiden melainkan keputusan hakim atas hukum di Indonesia.