REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyatakan sistem hukum di Indonesia sangat berisiko merenggut hak hidup seseorang secara sewenang-wenang melalui putusan hukuman mati.
"Penundaan eksekusi mati Mary Jane di saat terakhir membuktikan penerapan sistem hukum di Indonesia belum menjamin hak-hak terpidana," kata pengacara publik dari LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora melalui siaran pers diterima di Jakarta, Kamis (30/4).
Nelson mengatakan sistem peradilan yang korup juga sangat berisiko merenggut hak hidup seseorang secara sewenang-wenang. Padahal hukuman mati tidak bisa dicabut kembali, bila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan.
"Bagaimana bila Mary Jane terbukti tidak bersalah karena perekrutnya sudah menyerahkan diri di Filipina, tetapi dia sudah terlanjur ditembak mati bersama terpidana narkoba lainnya?" tuturnya.
Terkait eksekusi mati yang telah dilakukan kepada para terpidana narkoba pada Rabu (29/4) dini hari, LBH menyatakan keprihatinan dan mendesak pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap kasus Mary Jane.
"Sebagai lembaga yang memakai prinsip Hak Asasi Manusia, LBH Jakarta memandang bahwa hak atas hidup setiap orang tidak boleh direnggut oleh siapapun, termasuk negara," kata Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta.
Karena itu, LBH Jakarta mendesak Presiden Joko Widodo untuk memastikan Mary Jane mendapatkan seluruh bantuan hukum yang diperlukan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah setelah ada perkembangan baru di Filipina.
"Fakta persidangan menunjukkan dia selalu konsisten menyatakan dirinya disuruh seseorang dan tidak tahu tentang narkoba yang ditemukan di tasnya," tuturnya.
Menurut Febi, LBH menyayangkan Kepolisian yang tidak memberikan bantuan hukum saat berita acara pemeriksaan dan tidak didampingi penerjemah bahasa Tagalog saat pemeriksaan dan sidang pengadilan.