REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penangkapan dan penahanan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menuai kecaman dari kelompok aktivis antikorupsi. Salah satunya, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, yang menilai tindakan oleh Bareskrim Polri itu adalah kriminalisasi terhadap KPK.
"Penangkapan dan penahanan terhadap Novel Baswedan adalah bagian dari kriminalisasi yang terjadi pasca KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka," tegas peneliti PSHK Miko Susanto Ginting, dalam rilis yang diterima, Jumat (1/5).
Miko juga menyatakan, proses penangkapan dan penahanan terhadap Novel Baswedan telah mencederai prinsip 'due process of law' sekaligus melanggar hukum acara pidana. "Dalam penangkapan dan pemeriksaan terhadapnya, hak atas penasehat hukum tidak diberikan secara optimal kepada Novel Baswedan," ujar Miko.
Menurut Miko, substansi kasus Novel Baswedan sarat dengan kejanggalan dan motif balas dendam institusional. Dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada Novel Baswedan, lanjut Miko, sejatinya dimulai pada 2004. Namun, hal itu lalu diungkit-ungkit pada 2012 persis ketika KPK mengusut perkara korupsi yang melibatkan pejabat tinggi Kepolisian, Djoko Susilo.
Lantas, tutur Miko, pada 2015 kasus Novel Baswedan kembali mencuat pasca KPK melakukan pengusutan terhadap kasus Komjen (Pol) Budi Gunawan. Hal ini jelas mengundang tanda tanya besar publik antikorupsi.
"Kepolisian harus segera menghentikan penyidikan dan mengeluarkan Novel Baswedan dari tahanan. Penghentian penyidikan juga harus dilakukan terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai rangkaian kriminalisasi terhadap KPK," tegas dia.
Presiden Joko Widodo, menurut Miko, juga harus turun tangan, dengan segera memerintahkan Kapolri untuk mencopot Kabareskrim, Komjen (Pol) Budi Waseso.
"Di titik kritis ini, keberpihakan Presiden Joko Widodo terhadap penyelamatan KPK dan gerakan pemberantasan korupsi lagi-lagi akan diuji," pungkasnya.