REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir mengatakan penundaan eksekusi mati terpidana narkoba asal Filipina, Mary Jane Veloso, harus dilakukan pemerintah Indonesia hingga ada putusan pengadilan Filipina. Karena secara esensi hukum, lanjutnya, hasil putusan pengadilan Filipina bisa menjadi novum (bukti baru) bagi vonis Mary Jane di Indonesia.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia menunda eksekusi mati Mary Jane karena dia dianggap menjadi korban perdagangan manusia. Maria Kristina Sergio, orang yang diduga merekrut Mary Jane untuk menyelundupkan heroin ke Indonesia, menyerahkan diri pada kepolisian Filipina menjelang eksekusi mati Mary Jane. Setelah itu, pemerintah Filipina meminta Indonsia menunda eksekusi hingga proses peradilan Maria selesai.
"Pada prinsipnya (putusan pengadilan Filipina) bisa dijadikan novum, selama berkaitan kasusnya," ungkap Muzakir pada Republika, Ahad (3/5).
Novum atau hasil pengadilan Filipina itu, tambahnya, bisa saja mempengaruhi vonis Mary Jane yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) di Indonesia.
Muzakir menjelaskan jika pada putusan pengadilan Filipina Mary Jane dianggap menjadi korban dan bukan otak penyelundupan heroin, pemerintah Indonesia wajib menghadirkan Maria ke Indonesia.
"Karena untuk novum, tidak bisa hanya bukti dokumen saja. Terpidana di Filipina wajib memberikan keterangan dalam pengadilan di Indonesia, karena ini menyangkut peran," tutur Muzakir.
Tapi jika pada putusan pengadilan Filipina Mary Jane hanya dianggap menjadi korban perdagangan manusia, kata Muzakir, Indonesia bisa segera mengeksekusi dirinya. "Karena kasus perdagangan manusia itu tidak berkaitan dengan kasus narkoba Mary Jane di Indonesia," ujarnya.