REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pasir dari erupsi merapi seharusnya tidak boleh dikeruk dan kegiatan itu harus dibatasi. Hal itu disampaikan pakar sumber daya air dan sungai dari Fakultas Teknik UGM, Agus Sumaryono.
Menurutnya material erupsi merupakan asupan alami bagi sungai untuk mengurangi laju erosi. Sehingga aliran air tidak merusak daratan.
"Pasir-pasir itu memang berfungsi sebagai media stabilitas sedimen sungai. Jadi 20 atau 50 tahun ke depan pasir-pasirnya nemang akan hilang. Begitu juga siklus erupsi merapi. Gunung ini baru akan meletus lagi memuntahkan materialnya dalam jangka waktu tersebut," ujar Agus di Sanggar Tiktuk, Dusun Glonggong, Purwobinangun, Pakem, Rabu (6/5).
Karena itu, jika aktivitas penambangan dilakukan secara berlebihan tentunya akan terjadi kerusakan alam. Sebab kestabilan lingkungan terganggu.
Akibatnya, aliran air dapat merusak talud di berbagai tempat. Buktinya, akhir-akhir ini hujan di Pakem bisa merusak fasilitas umum di daerah sungai seperti jembatan. "Ada 12 sampai 21 titik talut ambrol karena pengerukan sedimen sungai," papar Agus.
Menurutnya daerah hulu dan hilir sungai akan saling memengaruhi. Jika daerah hulu rusak, banjir atau kekurangan air memang bisa terjadi di hilir. Apabila daerah hilir rusak, ekosistem ikan-ikan yang biasa bertelur di hulu akan rusak. Ini jelas menimbulkan kerusakan alam.
Saat ini kekurangan air memang menjadi masalah utama masyarakat Purwobinangun. Ini pun tidak lepas dari penambangan pasir yang tidak terkontrol.
"Oleh karenanya aktivitas pengerukan pasir harus dibatasi. Pemerintah harus memperketat pengawasannya, di antaranya terhadap Sungai Boyong sampai Code," ujar Agus.
Untuk krisis air ini, masyarakat bisa menanggulanginya dengan menanam pohon gayam di daerah setempat dan memanen hujan. Cara untuk memanen air hujan bisa dilakukan dengan menampungnya di toren, bak air, dan sumur.
"Air hujan sama dengan Aqua. Bahkan kandungan mineralnya lebih bagus dan bisa langsung diminum," tutur Agus menjelaskan.