Rabu 06 May 2015 23:22 WIB

Apakah Non-Muslim Penggambar Rasulullah SAW Harus Dihukum Mati?

Pengunjuk rasa di Amman, menunjukkan dukungannya terhadap Nabi Muhammad menyusul penerbitan edisi terbaru Charlie Hebdo yang memuat kartun Nabi Muhammad.
Foto: Reuters
Pengunjuk rasa di Amman, menunjukkan dukungannya terhadap Nabi Muhammad menyusul penerbitan edisi terbaru Charlie Hebdo yang memuat kartun Nabi Muhammad.

REPUBLIKA.CO.ID, Rentetan kasus visualisasi Rasulullah SAW oleh kalangan non-Muslim seakan tak ada hentinya. Apapun motif dan tujuannya, Ternyata, dalam kajian fikih klasik, ditemukan dua pandangan yang berbeda terkait apa sanksi yang harus dijatuhkan pada non-Muslim yang menvisualisasikan Rasulullah SAW. Benarkah harus dibunuh?

Prof Hasan as Sayyid Hamid Khitab, melalui makalahnya yang berjudul Jarimat Sub an-Nabi Muhammad SAW wa Uqubatuha Bain al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun ad-Dauli mengupas hukum penistaan terhadap Nabi oleh non-Muslim. Istilah yang ia gunakan untuk kelompok ini lebih terperinci yaitu  ahlu ad dzimmah, atau Nasrani dan Yahudi, atau golongan lainnya berdomisili di wilayah Islam.

Para ulama sepakat, non Muslim yang menghina Rasulullah harus dihukum. Namun, hukuman seperti apa yang mesti dijatuhkan kepada pelaku? Mereka berselisih pandang. Ada dua pendapat utama menyikapi kasus ini.

Kelompok yang pertama menyatakan pelecehan terhadap Nabi, apapun itu bentuknya, entah menghina kehormatan, merendahkan kemuliaan, atau mendeskreditkan sosok Rasulullah, maka yang bersangkutan pantas dibunuh. Alasannya cukup jelas, melecehkan Rasulullah tidak termasuk nota kesepakatan dan kesepahaman tangungan (dzimmah).

Imam al-Jashsash dari Mazhab Hanafi mengatakan, bila Muslim melecehkan Nabinya, maka ia tidak diampuni dan wajib dibunuh, maka hukuman serupa laik diterima oleh non Muslim seperti Yahudi dan Nasrani. Menurut Imam Syafii,  orang kafir yang telah merendahkan Alquran dan Muhammad, maka ia dianggap telah merusak kesepakatan bersama dan halal darahnya. Tak ada lagi tanggungjawab sebagai warga yang berhak atas perlindungan.

Mereka berargumen dengan beberapa dalil antaralain ayat 12 surah at-Taubah. “Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.”

Sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib dalam Sunan Abu Daud juga menguatkan pendapat ini. Ketika itu, seorang perempuan mencaci maki Rasulullah. Seorang sahabat tidak bisa menerima perlakuan keji itu, ia pun mencekik leher pelaku hingga mati. Instruksi untuk membunuh Ka’ab bin al-Asyraf dalam Sunan an-Nasai, termasuk dalil utama kalangan ini.  

Abdullah bin Umar pernah mendapat laporan tentang seorang pendeta yang menghujat Nabi. Ibn Umar mengatakan, seandainya ia mendengar langsung hujatan tersebut, maka ia akan membunuhnya. Karena, perjanjian perlindungan dan perdamaian yang disepakati bukan untuk melecehkan Rasulullah.

Tetapi, pendapat yang kedua ternyata menegaskan bahwa para penghina Rasulullah dari non-Muslim tidak perlu dibunuh, karena penyekutuan atas  Tuhan sudah cukup memiliki dampak hukum yang besar. Kubu ini berpendapat mereka hanya perlu dijebloskan ke penjara atau diasingkan. Pandangan ini merupakan repersentasi dari Abu Hanifah, at-Tsauri, dan pengikut keduanya dari para ahli fikih asal Kufah.  

Argumentasi mereka ialah hadis riwayat Bukhari dari Aisyah. Riwayat itu mengisahkan, Rasulullah tidak bersikap keras atas cacian Yahudi. Ini terjadi pada peristiwa keberadaan racun dalam makanan. Rasulullah seperti dinukilkan dari Anas bin Malik, menolak membunuh perempuan Yahudi yang menghidangkan kambing beracun.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement