REPUBLIKA.CO.ID,Mungkin tidak banyak yang tahu jika kakak kandung Hamengku Buwono I adalah seorang kiai. Kiai Nuriman, namanya.
Beliaulah pendiri kampung santri di Mlangi, sebuah kampunh santri tertua di Yogya. Kraton sengaja menjadikan kampung-kampung ini sebagai pathok negoro, artinya kampung yang memperoleh julukan itu menjadi benteng moral dan penyebaran agama Islam.
Masjid di kampung ini biasanya ditandai dengan sengkalan yang diberikan langsung oleh Sri Sultan dan kolam setinggi lutut di halamannya.
Tidak hanya itu, tradisi tulis di Kraton Yogyakarta juga menunjukkan kedekatan antara kraton dengan Islam. Hal itu tampak pada beberapa naskah koleksi kraton, antara lain naskah Puji I, Cebolek, Warna-Warni (Puji II), dan Menak Malebari.
Sebagian besar isi kandungan naskah tersebut menjelaskan bagaimana kraton menggunakan Islam sebagai tatanan kehidupan.
Sebuah proyek penelitian yang didukung oleh Yayasan Kebudayaam Islam Indonesia dan UIN Sunan Kalijaga telah melakukan penelitian terhadap khazanah budaya kraton yang bernafaskan Islam ini.
Penelitinya tak lain dari para guru besar dan budayawan Indonesia, seperti Prof. Simuh, Prof. Siti Chamamah Soeratno, Prof. Djoko Suryo, dan Prof Teuku Ibrahim Alfian.
Hasilnya, banyak manuskrip-manuskrip Kraton Jogja yang sarat nilai-nilai Islam, entah itu tauhid, fikih, akhlak/adab, sastra, maupun implementasi ajaran Islam dalam pemerintahan.
Perpustakaan Kraton Yogyakarta juga menyimpan sebuah manuskrip beraksara pegon tentang pengajaran agama Islam, berjudul Serat Piwulang Agami Islam.
Bahkan, Herman Sinung Janutama menuturkan jika dulunya kraton Yogyakarta memiliki sebuah madrasah internal kraton bernama Darul Ulum, serupa dengan Mambaul Ulum di Kraton Surakarta.
Sebagai salah satu pecahan kerajaan Mataram Islam, kraton Yogyakarta memang memiliki persentuhan dengan budaya Islam yang tidak sedikit. Peringatan Grebeg Maulid, keberadaan Masjid Agung Kauman, dan sejumlah atribut kraton menjadi jejak-jejak Islam yang lain di Kraton Yogyakarta.