REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Keputusan Sultan Hamengku Buwono X melepas nama Kalifatullah di antara nama gelarnya dinilai tak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang selama ini melekat dalam kehidupan Kraton Yogyakarta.
“Penggunaan gelar Sultan berangkat dari nilai-nilai Islam, itulah yang menjadi akar konflik dalam masalah ini,” terang budayawan Yogyakarta Iman Budi Santosa kepada ROL, Kamis (7/5).
Keputusan Raja Kraton Yogyakarta tersebut tertuang dalam salah satu poin Sabda Raja. Sehingga, Iman menilai, langkah itu merupakan hak prerogatif Sultan.
Perbedaan muncul di tengah-tengah masyarakat karena keputusan tersebut bertentangan dengan dengan nilai-nilai Islam yang melekat bersama kultur keraton sejak berabad-abad lalu.
Iman menjelaskan, Kraton Yogyakarta selalu berlandaskan dengan nilai-nilai Islam di Jawa. Menurutnya, dalam ajaran Islam, khalifatullah merupakan pemimpin kerajaan Islam.
Sama halnya dengan Indonesia yang berlandaskan Pancasila, menurut Iman, landasan tersebut digunakan dalam praktek keseharian di keraton.
“Kalau memang terjadi pergeseran, ya sudah. Kalau dari sisi Islam, pergeseran tersebut terlihat ekstrem. Tapi, ya mau bagaimana, Keraton kan bukan milik rakyat beda dengan Indonesia,” tutur Iman.
Diketahui sebelumnya, Sultan HB X mengeluarkan lima poin sabda raja yang salah satunya mengenai penghapusan satu gelar Sri Sultan yakni Kalifatullah, perubahan Buwono menjadi Bawono, dan Keping Sedasa menjadi Kaping Sepuluh.
Keluarnya Sabda Raja tersebut ditentang oleh keluarga Sultan.